Oleh Muhaimin Iqbal
Kamis, 22 July 2010 08:04
Harian Republika edisi kemarin Rabu 21 Juli 2010 memuat data statistik yang sepintas menggembirakan, yaitu statistik Produk Domestik Bruto Per Kapita dalam sepuluh tahun terakhir yang naik hampir empat kalinya. Statistik yang diambil dari BPS ini menunjukkan bahwa pada tahun 2000 PDB Per Kapita kita hanya Rp 6,751,000, akhir tahun lalu (2009) angka ini telah mencapai Rp 24,261,000.
Bertambah makmur kah rata-rata rakyat Indonesia selama 10 tahun terakhir ini ?. Di sinilah masalahnya. Bila kita melihat angka dalam Rupiah tersebut diatas yang kemudian saya sajikan ulang secara grafis dibawah, seharusnya kita telah jauh bertambah makmur selama 10 tahun terakhir.
Tetapi kenyataan yang dirasakan oleh mayoritas rakyat mungkin berbeda dengan grafik tersebut. Perasaan hidup terasa tambah berat karena barang-barang kebutuhan yang semakin mahal – sangat bisa dipahami karena mungkin memang itulah yang terjadi di lapangan.
Untuk dapat melihat realita ini secara akurat, lagi-lagi Islam punya tools-nya yaitu nishab zakat. Orang yang penghasilannya melebihi nishab zakat dianggap mampu dan dia harus bayar zakat. Sebaliknya, yang penghasilannya dibawah nishab zakat dia berhak untuk menerima uang zakat. Nishab zakat ini dinyatakan dalam Dinar yaitu 20 Dinar.
Bila PDB Per Kapita kita anggap merepresentasikan penghasilan penduduk Indonesia rata-rata; maka ketika grafik diatas saya konversikan dengan Dinar hasilnya akan seperti pada grafik dibawah.
Selama sepuluh tahun terakhir, hanya dua tahun dimana PDB Per Kapita kita mampu melampaui nishab zakat yaitu tahun 2001 (20.35 Dinar) dan 2002 (21.20 Dinar). Tahun-tahun berikutnya cenderung menurun dan terendah tahun 2009 yang tinggal 16.55 Dinar. Apa maknanya PDB Per Kapita yang dibawah nishab zakat ini ?, artinya rata-rata penduduk negeri ini berhak menerima zakat dan belum wajib zakat.
Maknanya adalah rata-rata penduduk negeri ini masih tergolong miskin menurut standar Islam, dengan timbangan yang kita yakini akurat sepanjang zaman yaitu nishab zakat yang 20 Dinar tersebut.
Namun realita ini tidak perlu membuat kita bersedih atau berkecil hati karena kemiskinan tidak teratasi dengan hanya bersedih, bahkan akan bertambah parah bila kita berkecil hati. Yang kita perlukan adalah setelah sadar akan realita ini adalah apa yang bisa kita perbuat untuk ikut terlibat dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut.
Inilah peluang itu, kini terbuka peluang lebar bagi kita untuk menempuh jalan yang mendaki lagi sukar untuk bisa berbuat sesuatu dalam ikut memerangi kemiskinan. Membangun usaha yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya tentu tidak mudah, lebih mudah bekerja di perusahaan atau instansi yang mapan – dengan perbagai fasilitasnya.
Namun kalau mayoritas kita berpikiran demikian lantas tugas siapa untuk menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya ini ?; Tugas pemerintahkah ?. Para pemimpin negeri ini tentu akan ditanya nanti atas kepemimpinannya, namun kita sebagai individu juga akan tetap ditanya atas apa yang kita lakukan.
Ayat-ayat dibawah bukan hanya ditujukan untuk para pemimpin negeri ini, tetapi untuk kita semua. Punya jawabankah kita bila waktunya kelak kita ditanya akan hal ini ?.
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan...”. (Al-Balad 10-14)