Revolusi industri yang terjadi sejak akhir abad 18 sampai pertengahan abad 19 tidak dipungkiri menghadirkan manfaat yang luar biasa bagi kesejahteraan umat manusia di dunia. Tetapi kemajuan ini bukannya tanpa dampak, over-industrialized terhadap hampir seluruh aspek kehidupan manusia membuat manusia overlook terhadap proses alam yang sempurna yang ada di depan mata kita. Dalam urusan pangan misalnya, begitu banyak kita mengandalkan hasil proses industri sampai melupakan bahan baku dan proses yang seharusnya menjadi keunggulan kita.
Ambil contoh misalnya semangkuk mie instan di meja makan kita. Betapa panjang perjalanan mie ini untuk sampai siap kita santap. Gandumnya ditanam di Amerika dan perlu waktu sekitar 9 bulan sebelum siap panen. Dikapalkan ke Indonesia menempuh jarak sekitar 20,000 km dalam 32 hari perjalanan, diproses di pabrik tepung dan kemudian disdistribusikan dahulu sebagai tepung.
Setelah menjadi tepung, dia diproses lagi di pabrik roti atau pabrik mie instan sebelum didistribusikan sebagai produk akhir ke konsumen. Perjalanan yang panjang ini tentu membutuhkan sangat banyak energi, mulai dari energi untuk traktor-traktor yang mengolah tanah untuk penanamannya sampai energi untuk masak mie di rumah kita. Proses yang panjang dan padat energi ini saya sebut saja red process atau proses merah.
Di lain pihak ada proses makanan yang tidak kalah enaknya tetapi menggunakan jalur yang jauh lebih pendek. Rumput yang tumbuh di kebun-kebun kita tidak butuh energi untuk menanamnya, rumput ini kemudian dimakan domba dan ternak lain juga tidak butuh energi. Sampai kita sembelih-pun tidak membutuhkan energi. Dia baru butuh energi ketika kita kirim ke tukang-tukang sate dan kemudian tukang sate-pun perlu membakarnya. Proses yang pendek dan sedikit melibatkan energi ini saya sebut green process atau proses hijau.
Produk akhir dari process hijau tidak kalah dengan hasil proses merah, bahkan kalau disuruh milih makan mie instan/roti atau makan sate, hampir pasti kita akan memilih makan sate. Bukan karena kita orang Indonesia, ketika CNN mengadakan survey makanan paling lezat di dunia sate masuk no 14 makanan terlezat di dunia sedangkan roti dan mie tidak masuk 50 besar.
Lantas mengapa jauh lebih banyak orang makan mie instan ketimbang makan sate atau produk berbasis daging lainnya ?, karena mie instan sudah menjadi bagian industri yang sangat besar lengkap dengan kampanye iklannya. Dalam 40 tahun terakhir, mie yang dahulunya makanan pendamping atau lauk telah berubah menjadi makanan utama.
Sementara makanan sate dan makanan berbasis daging lainnya, tingkat konsumsinya stagnan dan bahkan nyaris cenderung menurun - dengan posisi sekarang imana orang Indonesia rata-rata hanya mengkonsumi daging 10 kg/tahun/kapita, sementara tingkat konsumsi daging dunia telah mencapai 41 kg/tahun per kapita. Itupun setelah kita melakukan berbagai impor mulai dari bahan pakan ternak sampai impor daging bekunya.
Mengapa ketimpangan ini terjadi ? dalam hal makanan kita terobsesi dengan hasil-hasil dari proses merah dari hulu ke hilirnya, dan nyaris mengabaikan proses hijau yang ada di sekitar kita. Industri proses merah menarik begitu banyak investor sehingga terus membesar dari waktu ke waktu, sementara industri proses hijau nyaris terabaikan.
Kita rela mengimpor begitu banyak biji gandum yang dengan susah payah ditanam dan dikirim menempuh perjalanan separuh bumi, ketimbang mengapresiasi rumput-rumpur yang tumbuh di sekitar kita. Biji gandum adalah bahan baku untuk proses merah, sedangkan rumput adalah bahan baku gratis untuk proses hijau.
Kita perlu aware akan adanya proses merah dan proses hijau ini untuk menjadi sumber inspirasi kita dalam membangun kekutan ekonomi dan daya saing, utamanya menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun depan. Industri berbasis proses hijau mengandalkan bahan baku dan pabrik hijau, yang sumber utamanya ada di negeri ini.
Industri hijau juga memiliki daya saing tersendiri di era globalisasi dan kesadaran dunia untuk mampu menghadirkan pertumbuhan yang berkesinambungan sustainable growth. Ketika industri proses merah mengandalkan bahan bakar fosil yang semakin langka, industri proses hijau justru menghadirkan berbagai alternatif bahan bakar baru.
Ketika gandum ditanam sampai disajikan di meja makan mengkonsumsi begitu banyak energi fosil, rumput yang diproses sampai menjadi sate mengkonsumsi energi fosil yang jauh lebih sedikit dan bahkan secara tidak langsung bisa menghadirkan berbagai energi terbarukan. Tanaman-tanaman yang tumbuh subur setelah dipupuk tanpa sengaja oleh domba-domba yang berkeliaran mencari makan ketika digembala di antara pepohonan, bisa diolah untuk menghasilkan bio ethanol maupun bio diesel. Ketika malam hari istirahat, ternak-ternak tersebut masih membuang kotorannya di kandang inipun bisa menjadi sumber energi bio gas.
Bukan berarti kita tidak butuh industri-industri yang berbasis proses merah, keberadaannya saja yang perlu ditekan hanya pada yang benar-benar perlu. Sebaliknya industri-industri yang berbasis proses hijau yang harus terus digali dan dikembangkan, karena jenis proses inilah yang akan melestarikan bumi sambil memenuhi kebutuhan pokok manusia berupa pangan, energi dan air (FEW, Feed Energy and Water) secara berkelanjutan.
Kesadaran akan adanya proses hijau ini diharapkan juga membangkitkan rasa syukur kita terhadap begitu banyak nikmatNya yang ditaburkan di sekitar kita. Dan ketika kita pandai bersyukur, akan terus ditambahkan nikmatNya itu antara lain berupa peluang-peluang berikutnya. InsyaAllah.
- Details
- Kategori : Entrepreneurship
- Published on Friday, 16 May 2014 13:09
- Oleh : Muhaimin Iqbal