Investasi di Era Competitive Devaluation : Jangan Mau Jadi Pelanduk
7:50 PMOleh Muhaimin Iqbal
Selasa, 24 August 2010 05:40
Dahulu di waktu Sekolah Dasar kita belajar pepatah yang kurang lebih berbunyi “gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah”. Apes bener jadi pelanduk, dia tidak tahu menahu tentang urusan apa gerangan yang membuat para gajah tersebut bertarung – tetapi dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah pula – maka matilah dia karena pertarungan ini. Sebuah artikel di The Wall Street Journal kemarin yang diberi judul Getting Ready for A Dollar Collapse ? bercerita tentang pertarungan gajah US Dollar melawan gajah-gajah Yuan, Euro, Yen dan berbagai mata uang kuat lainnya – yang membuat mati para pelanduk, yaitu para penabung atau pemegang uang kertas dunia.
Pertarungan yang disebut competitive devaluation ini bermula dari krisis finansial global dalam dua tahun terakhir. Biang keladinya adalah Amerika, dimana 2/3 isi balance sheet dari Federal Reserve-nya berasal dari surat berharga yang dikeluarkan oleh government sponsored enterprises – semacam BUMN kitalah – yaitu Fannie Mae dan Freddy Mac yang di bailed out pemerintahnya dua tahun silam. Ini situasi ‘jeruk makan jeruk’ , yang hakekatnya pemerintah negeri ini sedang mencetak uang baru dari awang-awang.
Akibat perbuatannya ini – karena uang baru terus dicetak dari awang-awang - maka ada proses penurunan daya beli US$ secara terus menerus. Hal ini nampak jelas pada perkembangan harga emas dunia dalam US$, bila rata-rata bulanan bulan Agustus 2008 harga emas berada pada angka US$ 839.02 kini naik sekitar 44 % pada bulan Agustus 2010 ini menjadi rata-rata US$ 1,209.66 dengan trend masih keatas. Mungkin saja akan terbatas efeknya apabila penurunan daya beli ini hanya terjadi di AS, namun ternyata efek penurunan daya beli ini tidak akan terhenti di AS. Negara-negara lain yang nilai perdagangannya sangat tinggi dengan AS, seperti China, Uni Eropa, Jepang dlsb. akan kehilangan daya saingnya bila uang mereka terlalu perkasa terhadap US Dollars.
Akibatnya otoritas moneter negara-negara tersebut akan menempuh caranya sendiri-sendiri untuk menurunkan daya beli uangnya dengan perbagai program quantitative easing atau cara-cara ‘creative’ lainnya dalam mencetak uang dari awang-awang. Negara-negara lain yang tadinya tidak terimbas secara langsung-pun kemudian akan terpaksa mengikuti gerakan global dalam penurunan daya beli uang kertas ini, karena bila tidak maka mereka akan semakin tidak bisa bersaing dengan produk ekspor-nya.
Wal hasil, seluruh dunia kini seperti berpacu dalam menurunkan daya beli uang kertasnya – atau berarti juga berpacu dalam inflasi. Lantas siapa yang jadi pelanduk-nya ?, masyarakat secara umum yang tidak tahu menahu menjadi korban dalam bentuk harga barang-barang yang terus melambung, secara khusus para penabung yang meskipun angka uang yang ditabungnya bertambah – daya beli uang yang ditabung tersebut semakin lama semakin turun karena hasil tabungannya kalah berpacu dengan inflasi.
Terus bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi hal ini ?, yang terbaik adalah apabila terjadi perubahan paradigma cara berfikir dari kegemaran menabung menjadi kegemaran ber-investasi di sektor riil. Bagi Anda yang masih mempunyai kampung, menginvestasikan uang Anda di kampung dalam bentuk lahan-lahan yang diproduktifkan dengan berbagai tanaman sengon, jabon dan bahkan pisang dlsb. insyallah akan lebih memberi manfaat bagi Anda dan masyarakat sekitar Anda. Bagi yang sudah tidak memiliki kampung, masih banyak terbuka lahan di Nusantara ini untuk Anda produktifkan baik untuk pertanian, perikanan, peternakan maupun kegiatan produktif lainnya.
Mengapa sektor riil ini lebih baik dari pada memegang uang kertas atau tabungan di era competitive devaluation ini ?. Sederhana alasannya, benda riil apapun yang Anda pegang dengan sendirinya akan melonjak nilainya – ketika dunia rame-rame menurunkan daya beli mata uangnya.
Ketika kita tidak menjadi pelanduk, pertarungan para gajah tidak akan membuat kita mati – maka jangan mau jadi pelanduk !. Wa Allahu A’lam.
0 comments