Currency War : Menang Ora Kondang, Kalah Ngisin-Ngisini
10:25 PMOleh Muhaimin Iqbal
Senin, 11 October 2010 07:10
Currency war atau perang mata uang menjadi topik hangat di seluruh dunia sepanjang pekan lalu. Ancaman akan pecahnya perang mata uang ini menjadi semakin serius karena para pemimpin keuangan dunia termasuk didalamnya Bank Dunia dan IMF – dalam pertemuannya di Washington akhir pekan lalu – gagal mengatasi pertikaian dalam masalah daya beli uang kertas ini. Apa maknanya ini bagi kita ?.
Seperti ‘perang’ antar geng atau kelompok masyarakat yang akhir-akhir ini banyak terjadi di tanah air, ‘perang’ mata uang antar negara adalah perang yang sia-sia. Ada pepatah jawa yang pas untuk menggambarkan situasi ini yaitu Menang Ora Kondang, Kalah Ngisin- Ngisini ( menang tidak menjadikan terkenal, bila kalah memalukan).
Mengapa demikian ?, mari kita lihat contoh kasusnya yang konkrit pada pertempuran yang sedang terjadi antara Amerika dan China. Amerika terus berusaha menekan China agar secepatnya menaikkan nilai tukar mata uang mereka, karena para produsen di Amerika menuduh nilai tukar Yuan terlalu rendah sampai 40 % dari nilai yang seharusnya.
Akibat nilai tukar Yuan yang begitu rendah, barang-barang yang dihasilkan di China menjadi sangat competitive dibandingkan barang-barang yang diproduksi oleh negara lain – termasuk Amerika. Akibat produknya tidak bisa bersaing dengan barang-barang dari China, maka di Amerika jutaan lapangan kerja di sektor manufactur menghilang dan menjadikan negeri yang seharusnya makmur itu kini juga bergelimang dengan pengangguran.
Kekalahan ini tentu ngisin-ngisini bagi pemerintah Amerika sekarang – karena pemerintahan Obama ternyata juga tidak bisa menciptakan lapangan kerja baru atau bahkan tidak bisa pula sekedar mempertahankan lapangan kerja yang semula ada.
Lantas China yang lagi memenangi pertempuran tahap ini - belum tentu bisa memenangi perang mata uang ini nantinya. Kemengan China bahkan tidak membuatnya kondang di mata rakyatnya sendiri. Mata uang mereka yang rendah daya belinya – membuat jerih payah rakyat yang mayoritasnya adalah masyarakat pekerja tidak dihargai yang seharusnya. Apa artinya kenaikan penghasilan 5 % – 10 %, bila ternyata uang mereka 40% lebih rendah dari yang seharusnya ?.
Di mata masyarakat dunia-pun jelas China tidak kondang, selain dibenci (terutama oleh Amerika, Jepang dan negara-negara pesaing utamanya) , bila kondisi ini berlangsung terus – daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor akan terus menurun hingga tidak mampu lagi membeli produk-produk China yang murah sekalipun. Bila ini terjadi, maka industri di China juga akan lumpuh karena tidak lagi bisa mengandalkan pasar ekspor yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian mereka.
Perang mata uang ini akan berakhir sia-sia, seperti akhir perang Barata Yudha – tidak jelas lagi siapa pemenang dan siapa pecundang-nya. Keduanya ludes bergelimang dengan korban perang ( pengangguran) dan kehancuran ekonomi.
Lantas apa yang bisa kita lakukan agar tidak terlibat dalam perang yang sia-sia ini dan juga tidak menjadi korbannya ?. Ada dua tingkatan yang seharusnya bisa kita lakukan yaitu di tingkat pemerintah dan di tingkat masyarakat itu sendiri.
Di tingkat pemerintah, agar tidak terlalu fokus menghabiskan energi ikut bermain di daya beli mata uang. Sebaliknya pemerintah hendaknya fokus pada daya saing industri secara riil. Mumpung negara-negara lain sibuk dengan mata uangnya, kita sibuk mendandani kendala-kendala di infrastruktur industri dan segala macam peraturan yang membuat Indonesia terpuruk ke ranking 122 dalam tingkat kemudahan berusaha.
Di tingkat masyarakat, agar memperbanyak atau meningkatkan kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja buat minimal dirinya sendiri – syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Kemampuan ini menjadi semakin penting karena ‘pasca perang Barata Yudha’ akan banyak sekali korbannya, yaitu pabrik-pabrik yang tutup, perusahaan yang bangkrut dan pengangguran yang semakin meraja lela.
Manfaat kedua dari tumbuhnya entrepreneurship masyarakat adalah berubahnya asset tabungan masyarakat dari yang semula bersifat finansial (tabungan, deposito, dana pensiun, asuransi dlsb.), menjadi asset riil berupa barang dagangan, stok bahan baku, stok produk dan berbagai asset produktif lainnya – yang insyaAllah akan lebih mampu bertahan (nilainya) dibandingkan dengan asset finansial.
Sekali lagi, insyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari perang yang tidak mebuat kita kondang atau malah ngisin-ngisini ini. Wa Allahu A’lam.
0 comments