Bisa Cetak Uang, BI Yakin Takkan Bangkrut
6:04 PMJimbaran - Defisit anggaran kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2011 sebesar Rp 49 triliun merupakan hal yang biasa. Bank sentral menyatakan sebagai otoritas moneter tidak bisa bangkrut karena dapat mencetak uang sebanyak-banyaknya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan apa yang harus dilakukan oleh bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sehingga defisit yang terjadi adalah hal yang lumrah dilakukan sebuah otoritas moneter.
"Bank sentral sebenarnya tidak bisa bangkrut, kita bisa mencetak uang. Yang namanya bank sentral itu ketika dimulai dari nol itu adalah memang mencetak uang," ujar Halim.
Ia menyampaikan hal itu ketika ditemui disela acara South East Asia Central Banks (Seacen)-Seminar yang bertemakan "Optimal Central Banking For Financial Stability", di Hotel Intercontinental, Jimbaran, Bali, Jumat (10/12/2010).
Menurutnya, yang dilakukan bank sentral saat ini adalah semata-mata adalah mengendalikan ekses likuiditas yang tengah membanjir. Oleh sebab itu, lanjut Halim, bank sentral menerbitkan surat utang yang ongkos moneternya harus ditanggung lebih besar.
"Itu memang yang dilakukan Bank Indonesia demi kepentingan stabilisasi untuk kepentingan pertumbuhan. Kondisi sekarang karena Bank Indonesianya itu aktif mengupayakan agar ekses likuiditas tidak berlebih, supaya tidak kemana-mana. Kalau kita lepas, uang beredar bisa banyak sekali. Ini juga merupakan stabilisasi, stabilitas sebagai prasyarat pembangunan yang berkelanjutan. Tentu ada biayanya," paparnya.
Ia mengharapkan, jika kedepan kondisi ekonomi membaik maka ekses likuiditas yang diserap BI bisa dilepas perlahan. Sehingga ekses tersebut dapat digunakan untuk mendorong perekonomian.
"Sementara ini kalau belum, kita terpaksa nyedot dulu. BI tidak ada yang nyuruh seperti ini, ini demi kepentingan stabilitas mandat kita," tuturnya.
Halim menegaskan, defisit yang terjadi saat ini sangat baik karena dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan ekonomi yang keseluruhan. "Ini defisit baik, bukan karena BI boros," tegasnya.
BI sendiri, sambung Halim, telah bersiap mendapatkan kerugian yang besar akibat melakukan stabilisasi untuk mengurangi dampak negatif dari capital inflow yang membanjiri Indonesia. Seiring dengan meningkatnya tekanan capital inflow tersebut Halim mengatakan BI akan menerbitkan instrumen-instrumen guna menahan hot money tersebut.
"Akan ada instrumen-instrumen lain yang menyusul seperti kebijakan untuk menaikkan GWM valas," ujarnya.
Dikatakan Halim, defisit ini terjadi juga di beberapa Bank sentral seperti Chili yang juga mengalami defisit selama 10 tahun. Namun defisit bank sentral itu ternyata tidak mempengaruhi kondisi perekonomian negara tersebut.
"Dan itu tidak ada masalah, ekonominya naik terus. Bank sentral banyak yang kena krisis defisit," tuturnya.
Yang pasti, Halim menegaskan kebijakan yang diambil bank sentral tidak semata-mata hanya mempertimbangkan defisit dari bank sentral. BI juga harus memikirkan kepentingan yang lebih luas dalam hal ini perekonomian negara.
"Pada dasarnya BI tidak boleh sebetulnya ketika mengambil kebijakan memikirkan dirinya sendiri atau memikirkan akan defisit. Yang kita pikirkan adalah kepentingan yang lebih luas," imbuh Halim.
Seperti diketahui, BI mengusulkan defisit anggaran kebijakan di tahun 2011 sebesar Rp 49 triliun. Angka tersebut meningkat 32,4% jika dibandingkan dengan defisit anggaran kebijakan bank sentral di 2010 yang sebesar Rp 37 triliun.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan apa yang harus dilakukan oleh bank sentral adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, sehingga defisit yang terjadi adalah hal yang lumrah dilakukan sebuah otoritas moneter.
"Bank sentral sebenarnya tidak bisa bangkrut, kita bisa mencetak uang. Yang namanya bank sentral itu ketika dimulai dari nol itu adalah memang mencetak uang," ujar Halim.
Ia menyampaikan hal itu ketika ditemui disela acara South East Asia Central Banks (Seacen)-Seminar yang bertemakan "Optimal Central Banking For Financial Stability", di Hotel Intercontinental, Jimbaran, Bali, Jumat (10/12/2010).
Menurutnya, yang dilakukan bank sentral saat ini adalah semata-mata adalah mengendalikan ekses likuiditas yang tengah membanjir. Oleh sebab itu, lanjut Halim, bank sentral menerbitkan surat utang yang ongkos moneternya harus ditanggung lebih besar.
"Itu memang yang dilakukan Bank Indonesia demi kepentingan stabilisasi untuk kepentingan pertumbuhan. Kondisi sekarang karena Bank Indonesianya itu aktif mengupayakan agar ekses likuiditas tidak berlebih, supaya tidak kemana-mana. Kalau kita lepas, uang beredar bisa banyak sekali. Ini juga merupakan stabilisasi, stabilitas sebagai prasyarat pembangunan yang berkelanjutan. Tentu ada biayanya," paparnya.
Ia mengharapkan, jika kedepan kondisi ekonomi membaik maka ekses likuiditas yang diserap BI bisa dilepas perlahan. Sehingga ekses tersebut dapat digunakan untuk mendorong perekonomian.
"Sementara ini kalau belum, kita terpaksa nyedot dulu. BI tidak ada yang nyuruh seperti ini, ini demi kepentingan stabilitas mandat kita," tuturnya.
Halim menegaskan, defisit yang terjadi saat ini sangat baik karena dalam rangka menjaga stabilitas moneter dan ekonomi yang keseluruhan. "Ini defisit baik, bukan karena BI boros," tegasnya.
BI sendiri, sambung Halim, telah bersiap mendapatkan kerugian yang besar akibat melakukan stabilisasi untuk mengurangi dampak negatif dari capital inflow yang membanjiri Indonesia. Seiring dengan meningkatnya tekanan capital inflow tersebut Halim mengatakan BI akan menerbitkan instrumen-instrumen guna menahan hot money tersebut.
"Akan ada instrumen-instrumen lain yang menyusul seperti kebijakan untuk menaikkan GWM valas," ujarnya.
Dikatakan Halim, defisit ini terjadi juga di beberapa Bank sentral seperti Chili yang juga mengalami defisit selama 10 tahun. Namun defisit bank sentral itu ternyata tidak mempengaruhi kondisi perekonomian negara tersebut.
"Dan itu tidak ada masalah, ekonominya naik terus. Bank sentral banyak yang kena krisis defisit," tuturnya.
Yang pasti, Halim menegaskan kebijakan yang diambil bank sentral tidak semata-mata hanya mempertimbangkan defisit dari bank sentral. BI juga harus memikirkan kepentingan yang lebih luas dalam hal ini perekonomian negara.
"Pada dasarnya BI tidak boleh sebetulnya ketika mengambil kebijakan memikirkan dirinya sendiri atau memikirkan akan defisit. Yang kita pikirkan adalah kepentingan yang lebih luas," imbuh Halim.
Seperti diketahui, BI mengusulkan defisit anggaran kebijakan di tahun 2011 sebesar Rp 49 triliun. Angka tersebut meningkat 32,4% jika dibandingkan dengan defisit anggaran kebijakan bank sentral di 2010 yang sebesar Rp 37 triliun.
=====
Beberapa komentar yang masuk banyak yang berfikir kalau daya beli masyarakan hancur karena begitu mudahnya mencetak uang, disamping "kesia-siaan" masyarakat bekerja memperoleh uang, namun daya beli uang tersebut secara perlahan tapi pasti akan terus berkurang.
Solusi atau tindakan kita sebagai bagian pengguna mata uang fiat adalah beralihkan ke mata uang dinar yang sudah terbukti tahan terhadap penurunan daya beli, selain itu mulailah untuk mempunyai usaha sektor riil yang akan melindungi aset dari penurunan nilai.
Sumber : http://www.detikfinance.com/read/2010/12/10/155702/1521909/5/bisa-cetak-uang-bi-yakin-takkan-bangkrut?f9911033
1 comments
Cetak saja rupiah yang banyak..!!!
ReplyDeleteBI ta'akan bangkrut. Rakyat Indonesia yang bangkrut, bangsat..!!!