Oleh Muhaimin Iqbal
Rabu, 01 June 2011 06:05
Rabu, 01 June 2011 06:05
Di dunia perbankan ada istilah Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal, yaitu suatu rasio yang menggambarkan perbandingan antara modal bersih yang dimiliki suatu bank dengan total asetnya – setelah memperhitungkan faktor risiko. Mirip dengan ini di dunia asuransi dikenal istilah Risk Based Capital (RBC), yaitu kekayaan bersih perusahaan juga setelah diperhitungkan dengan faktor-faktor risiko. Keduanya memiliki kesamaan yaitu aset perusahaan yang sesungguhnya yang dimiliki oleh bank atau asuransi – sangat bisa jadi tidak sebesar asset yang diperhitungkan berdasarkan standar akuntansi – setelah faktor-faktor risikonya dimasukkan dalam perhitungan. Lantas bagaimana dengan aset pribadi atau perusahaan Anda, berapa nilai yang sesungguhnya ?, tumbuhkah atau malah menyusut ?.
Saya tidak akan memperkenalkan formula yang njlimet seperti perhitungan CAR di perbankan atau RBC di asuransi untuk menghitung nilai sesungguhnya dari aset pribadi atau perusahaan Anda, saya perkenalkan saja apa yang saya sebut Gold Based Capital (GBC) – yang mengukur nilai riil aset Anda dengan menggunakan standar harga emas.
Untuk mudahnya dipahami konsep ini saya gunakan ilustrasi berikut : anggap lima tahun lalu (2006) Anda punya aset uang sebesar lima unit (bisa satuan apa saja milyar Rupiah, juta dollar dlsb). Anda investasikan secara terpisah masing-masing satu unit ke Deposito Rupiah (asumsi hasil rata-rata 7 %), Deposito Dollar (asumsi hasil rata-rata 2.5%), Saham (asumsi hasil mengikuti pergerakan IHSG), Emas untuk nantinya dijual ke Rupiah ( asumsi apresiasi nilai mengikuti harga emas dalam Rupiah) dan Emas yang nantinya dijual ke Dollar ( asumsi apresiasi mengikuti harga emas dalam US Dollar).
Setelah lima tahun berlalu (2011), berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas pertumbuhan masing-masing aset Anda akan menjadi seperti pada grafik dibawah.
Perhatikan semua aset nampak memberikan hasil atau tumbuh. Deposito baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar secara persistent tumbuh dibawah pertumbuhan harga emas baik di Rupiah maupun di Dollar. Saham yang direpresentasikan oleh fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tumbuh secara fluktuatif – kadang jauh diatas harga emas tetapi kadang juga anjlog jauh dibawah.
Dengan kacamata Rupiah atau US Dollar, Anda mungkin sudah senang dengan pertumbuhan aset ini. Masalahnya adalah daya beli riil Rupiah dan Dollar juga anjlog tergerus inflasi selama lima tahun ini – inilah faktor risiko yang hampir pasti terjadi yang mestinya ikut diperhitungkan dalam menilai aset Anda. Karena faktor risiko inilah nilai sesungguhnya dari aset Anda tersebut diatas perlu di adjusted dengan faktor inflasi – tetapi data inflasi yang mana yang bisa kita pakai ?, di negeri ini inflasi umum rata-rata lima tahun terakhir ‘hanya’ 6.8 % tetapi rata-rata inflasi bahan pangan untuk periode yang sama adalah 12 % !.
Agar Anda tidak pusing memikirkan data inflasi mana yang digunakan, maka gunakan saja harga emas sebagai patokan. Mengapa harga emas ?, Pertama harga emas di dunia dibentuk oleh mekanisme pasar yang nyaris sempurna – sehingga harganya adalah reliable, kedua data harga emas yang paling up-dated baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar ini selalu available setiap saat, dan utamanya yang ketiga karena harga emas telah terbukti stabil mencerminkan harga-harga benda riil kebutuhan manusia untuk periode yang amat sangat panjang yaitu lebih dari 1400 tahun !. Maka setelah aset-aset Anda tersebut diatas di adjusted atau di standarisasi dengan menggunakan harga emas, hasilnya akan seperti pada grafik dibawah.
Emas baik yang semula akan dijual dalam Rupiah maupun US Dollar, bila di standarisasi dengan emas itu sendiri tidak tumbuh atau tidak bertambah sampai kapan-pun. Deposito Anda dalam Rupiah maupun dalam US$ nampak terus menyusut – semakin lama semakin menjauh dari standar harga emas. Untuk saham berfluktuasi kadang diatas dan kadang dibawah.
Saham yang sedikit mencerminkan sektor riil dapat menumbuhkan aset Anda yang dihitung dengan standar emas – meskipun berisiko tinggi. Untuk tingginya risiko investasi di saham ini pernah saya tulis di situs ini yang mengutip thesis S2-nya Ibu Sri Pangestuti.
Bila deposito-deposito nilai riilnya dengan standar emas terus menyusut dan investasi saham berisiko, lantas apa investasi yang paling tepat untuk Anda ?. Saya cenderung untuk terus mendorong Anda berinvestasi di sektor riil. Memang untuk ini Anda akan menghadapi setidaknya dua risiko sekaligus yaitu risiko usahanya sendiri dan risiko inflasi, namun insyaallah keduanya bisa di-minimized.
Risiko usaha dapat Anda minimized dengan memilih bidang yang sangat Anda pahami seluk beluknya, melakukan riset maksimal dibidang tersebut dari segala aspek yang terkait, membuat business model dan business plan yang matang serta mengimplementasikannya dengan prudent atau penuh kehati-hatian.
Risiko inflasi dapat Anda minimized atau bahkan hilangkan bila Anda bisa mengelola pertumbuhan aset Anda berbasis emas atau Dinar, bukan emas atau Dinar yang disimpan tetapi emas atau Dinar yang menjadi modal yang terus berputar. Untuk lebih jelasnya, ilustrasi dibawah ini menggambarkan siklus usaha Anda setelah menggunakan Dinar atau emas sebagai basis-nya.
Mudahkah ini diimplementasikan ?. Kerjasama antara Gerai Dinar dengan BMT Daarul Muttaqiin telah siap memfasilitasi Anda untuk memutar usaha berbasis Dinar ini, namun bagi Anda yang belum comfortable atau familiar dengan Dinar – maka emas lantakan juga bisa digunakan sebagai basis modal untuk menggerakkan sektor riil. Untuk yang terakhir ini kami telah merintis pembicaraan dengan beberapa bank syariah untuk sinergi-nya, insyaAllah dalam waktu dekat layanan yang komprehensif yang terkait dengan penggunaan emas sebagai modal ini akan segera terwujud.
Sebagaimana lawan riba adalah perdagangan dan sedekah, maka inflasi harus bisa kita taklukkan dengan berputarnya harta di sektor riil dan ketika masih idle berupa cadangan modal-pun dia dalam bentuk yang tidak mempan digerus inflasi yaitu Dinar atau emas. InsyaAllah.