Ketika Asset Anda Nilainya Ditentukan Oleh Isu?
11:34 PMWritten by Muhaimin Iqbal
Friday, 07 May 2010 07:35
Dalam tulisan saya dua hari lalu tentang Gold War saya ungkapkan bahwa emas ‘dibenci’ pemerintah dan otoritas dunia, karena begitu mudah digunakan untuk membaca masalah-masalah yang melanda system financial yang ada. Melesatnya harga emas dunia semalam yang menembus angka diatas US$ 1,200/Oz membuktikan hal ini, bahwa system keuangan dunia lagi sakit dan ada kemungkinan komplikasi yang parah.
Awalnya penyakit itu berasal dari krisis yang melanda Yunani, kemudian menular ke tetangganya yang pertahanan ‘tubuh’ ekonominya juga lemah seperti Portugal dan Spanyol, kemudian seluruh Eropa terpengaruh dengan anjloknya Euro mendekati 9% sejak awal tahun ini.
Dan puncaknya semalam ketika dalam beberapa jam perdagangan saja Index Dow Jones Industrials terpangkas hampir 1000 points. Secara umum dalam perdagangan bursa dunia kemarin, rata-rata indexs turun diatas 3 %.
Dengan wabah yang ditularkan oleh Yunani ini, semua nilai Asset yang ditentukan dengan mata uang kertas menjadi semu. US$ yang nampak relatif perkasa saja bila dibandingkan dengan mata uang kertas lainnya, setahun terakhir nilainya turun sebesar hampir 25% dibandingkan dengan emas – atau per pagi ini harga emas dalam US$ setahun terakhir naik sekitar 32%.
Apakah dampak krisis ini juga akan menjangkau kita yang ribuan miles jauhnya dari Yunani ? secara fisik memang kita berjauhan dari epicentrum krisis. Namun secara system, semua saling terkait. Ketika bursa dunia berjatuhan, maka bursa kita-pun ikut jatuh.
Selain system yang saling terkait, komplikasi lain yang sifatnya internal kita juga ada, yaitu pertahanan ‘tubuh’ dari system keuangan kita lagi rentan isu pergantian pejabat otoritas keuangan negeri ini. Karena berbagai hal inilah nilai uang Rupiah kita dalam sepekan terakhir turun sampai sekitar 4 % bila dibandingkan dengan US$, dan turun sekitar 8% bila dibandingkan dengan harga emas.
Karena selama ini kita menggunakan unit of account Rupiah dalam menilai asset-asset atau transaksi kita, maka ketika nilai mata uang kertas kita jatuh – nilai asset-asset tersebut juga ikut jatuh. Misalkan sepekan lalu Anda bernegosiasi untuk membeli rumah seharga Rp 1 Milyar – saat itu nilainya setara dengan 685 Dinar; bila Anda selesaikan transaksi tersebut hari ini maka rumah yang harganya Rp 1 Milyar tersebut – kini cukup Anda beli seharga 628 Dinar. Dalam Rupiah tetap, tetapi dalam Dinar rumah tersebut telah turun nilainya sebesar 8 % lebih – dalam sepekan !.
Proses yang sama inilah yang membuat asset-asset negeri ini, baik yang berasal dari BUMN maupun swasta – berpindah tangan dari kepemilikan bangsa ini ketangan asing paska krisis 1997/1998. Ketika nilai uang kita paska krisis tinggal seperempatnya dibandingkan dengan sebelum krisis, betapa murahnya asset-asset bangsa ini bila dibeli dengan mata uang asing yang lebih perkasa melalui masa krisis.
Sehingga jangan heran bila Anda sempat berjalan di sepanjang jalan protocol ibu kota yaitu dari ujung Jl. Thamrin di utara sampai ke ujung Jl. Sudirman di selatan – tengoklah kiri kanan dan lihatlah papan nama – panan nama yang menjualng indah di pencakar langit – pencakar langit pusat bisnis kebanggaan kita tersebut, lalau bertanyalah siapa yang memiliki saham (mayoritas) perusahaan-perusahaan tersebut ? jawabannya kemungkinan besar bukan kita lagi.
Di pintu gerbang Jalan Thamrin ada perusahaan telekomunikasi kebanggaan bangsa ini (dahulu) – kini negeri ini tinggal memiliki saham 14.29 % saja; 65 %-nya milik asing dan sisanya 20.71% public – yang bisa jadi sebagiannya juga asing.
Mendekati ujung Jalan Sudirman ada bank swasta kebanggaan kita (dahulu), bank ini didirikan oleh para pengusaha pejuang yang sebagian besarnya saya kenal pribadi dengan sangat baik. Bahkan waktu mereka mendirikan bank tersebut tahun 1955 – motifnya bukan untuk mencari keuntungan, tetapi ingin mengisi kemerdekaan !. Ironi sekali, karena bank tersebut kini ultimate shareholder-nya adalah suatu group perusahaan dari negeri jiran.
Pengalaman-pengalaman memilukan banyak terjadi dialami oleh temen-temen yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang diambil alih pihak asing ini, bukan masalah materi – tetapi lebih kepada masalah harga diri. Setelah 65 tahun merdeka, ternyata yang banyak ‘mengisi’ kemerdekaan ini bukan lagi kita – tetapi para investor asing baik dari negeri jiran maupun dari negeri yang jauh L.
Lantas bagaimana kita menghindari pengalaman ini terus dan terus terulang, baik dalam skala pribadi maupun dalam skala bangsa ?. Jawabannya adalah pertahankan nilai kekayaan kita dengan unit of account yang sesungguhnya, yang nilainya tidak mudah rusak oleh isu dan tidak terpengaruh oleh wabah penyakit global seperti penyakit yang ditularkan oleh negeri nun jauh disana – Yunani.
Dinar bisa menjadi solusi yang konkrit untuk hal ini, kalau toh di tingkat perusahaan atau negara belum bisa mengambil Dinar ini sebagai solusi – toh kita sudah bisa mengamankan asset kita sendiri dengan Dinar ini. Mulai yang kita bisa, mulai yang kita tahu – insyaAllah Allah akan membimbing kita terhadap apa yang kita belum tahu...Amin.
0 comments