Oleh Muhaimin Iqbal
Senin, 30 August 2010 08:40
Senin, 30 August 2010 08:40
Saya pernah menulis tentang Quantitative Easing ini di bulan Maret 2009 ketika dunia sedang berada di puncak krisis finansial. Saya tulis kembali sekarang dengan judul Quantitative Easing 2 (QE 2) sebagaimana para pengamat ekonomi menyebutnya akhir-akhir ini, karena mulai bermunculannya wacana atau lebih tepatnya analisa kemungkinan beberapa bank sentral dunia melakukannya lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Quantitative Easing adalah kebijakan bank sentral untuk menambah supply uang dengan meng-credit-kan di account-nya sendiri uang dalam jumlah besar secara ex-nihilo atau out of nothing atau dalam bahasa kita dari awang-awang. Bahkan uang ini juga tidak perlu dicetak, karena cukup di entry di account bank central – bahwa uang mereka bertambah – maka bertambahlah uangnya.
Uang yang diketikan dari awang-awang ini kemudian beredar melalui apa yang disebut open market operation, yaitu ketika uang (yang hanya ada di data komputer) tersebut kemudian bener-bener digunakan untuk membeli financial assets berupa government bonds, corporate bonds dlsb. serta mengalir ke bank-bank dan institusai finansial lainnya.
Langkah bank-bank sentral melakukan quantitative easing ini tidak terlalu bermasalah selagi pelaku pasar dan pengguna uang pemerintah tersebut masih mempercayainya. Masalahnya adalah ketika hal ini semakin sering dilakukan – maka nilai mata uang dari negara tersebut akan terus tergerus dengan cepat dan merugikan siapapun yang memegangnya.
China misalnya yang memegang US$ terbesar, sejak beberapa tahun terakhir mulai khawatir akan menurunnya daya beli asset mereka yang berupa US$ tersebut. Karena kekawatiran inilah maka China terus mendiversifikasi cadangan devisanya dari US Dollars, mereka kini aktif membeli mata-uang- mata-uang negara lain selain AS, seperti Jepang, Thailand, Korea dan bahkan beberapa negara latin.
Pemerintah China dan perusahaan-perusahaan negara-nya juga mulai mengumpulkan asset riil diluar mata uang. Di antara yang mereka kumpulkan adalah emas, biji besi, cadangan gas, batu bara dan bahkan cadangan kayu dari hutan-hutan di Guyana. Dari perbagai persiapan ini, maka bila nilai US$ terus mengalami penurunan – dan bahkan suatu saat bisa bener-bener kehilangan nilainya sama sekali , maka bisa jadi China adalah negara yang paling siap menghadapinya. China bahkan juga sudah mendorong dan memfasilitasi rakyatnya untuk rame-rame membeli emas.
Paling tidak langkah China ini pasti menggembirakan rakyatnya karena setahun terakhir rakyat China yang memindahkan tabungan US$-nya menjadi emas mengalami keuntungan rata-rata sekitar 30% - yaitu rata-rata appresiasi harga emas dunia dalam US$ setahun terakhir.
Dengan semakin ramenya wacana atau analisa akan kemungkinan terjadinya Quantitative Easing Gelombang ke 2 (QE 2), sangat mungkin trend kenaikan harga emas dunia masih akan terus berlanjut – apalagi minggu ini kita sudah akan memasuki bulan September – dimana kenaikan harga emas musiman biasa juga terjadi.
Bila China beserta rakyatnya telah melakukan antisipasi yang proper terhadap kebijakan negara lain terhadap uangnya – khususnya AS, mengapa tidak kita juga “belajar sampai negeri China” dalam pengelolaan asset ini ?. Wa Allahu A’lam.
===
Apalagi sekarang sudah ada fasilitas untuk mencicil emas baik emas batangan atau dinar emas.