Posisi Rupiah dan Bank Indonesia

8:30 PM

Jakarta, 28 Februari 2012
Menyoal Posisi Rupiah dan Bank Indonesia

M. Abdurrasyidi -
Analisis akuntansi yang membuktikan bahwa rupiah adalah janji utang dan BI dikuasai oleh perusahaan swasta.

Penjelasan mengenai asal-usul, hakikat dan posisi uang kertas sebagai uang hampa sudah dituliskan dengan rinci oleh Bapak Zaim Saidi dalam Buku Euforia Emas (Pustaka Adina, 2011). Lima bab pertama buku tersebut menyajikan hal-hal yang sangat mendasar mengenai riba, asal-usul uang kertas dan posisi Bank Indonesia (BI). Penulis juga merekomendasikan suatu solusi nyata atas permasalahan tersebut, yaitu kembali menggunakan dinar emas dan dirham perak untuk muamalah dan menunaikan zakat. Reaksi atas buku tersebut tentu saja bisa beragam, bisa sependapat, bisa juga tidak percaya atau bahkan sinisme.

Tulisan sederhana ini mencoba mengurai posisi uang kertas dan BI dari sudut pandang akuntansi sebagai suatu bahasa bisnis. Sudut pandang ini diharapkan bisa melengkapi cara pandang terhadap suatu fakta sehingga bisa membantu memahami uang kertas dan BI. Analisis akuntansi dilakukan terhadap laporan keuangan BI, terutama pada neraca.

Neraca merupakan bagian dari laporan keuangan suatu entitas yang dihasilkan pada suatu periode yang menunjukkan posisi keuangan entitas tersebut pada akhir suatu periode. Neraca terdiri atas tiga unsur, yaitu aset, liabilitas, dan ekuitas yang dihubungkan dengan persamaan akuntansi:

Aset = Liabilitas + Ekuitas

Aset (aktiva) mencerminkan sumber daya yang dikuasai oleh entitas, sedangkan utang dan ekuitas mencerminkan hak atau klaim pihak lain atas sumber daya entitas. Dengan demikian untuk mengetahui sumber daya yang dikuasai Bank Indonesia, kita bisa melihatnya pada sisi aset (aktiva) sedangkan untuk mengetahui siapa yang yang memiliki klaim/hak atas Bank Indonesia kita bisa melihat pada sisi liabilitas (utang) dan ekuitas.

Laporan keuangan tahunan BI, terutama Neraca BI per tanggal 31 Desember 2010 dapat diunduh pada website resmi Bank Indonesia pada link http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Tahunan+BI/lktbi_2010.htm. Dengan melakukan analisis vertikal (menghubungkan antar akun dalam tahun yang sama) atas Neraca BI dan dengan melihat pada penjelasan dalam catatan atas laporan keuangan maka kita akan memperoleh fakta-fakta sebagai berikut:

A. AKTIVA
Aktiva BI merupakan sumber daya yang dimiliki BI yang memberi manfaat di masa datang.
1. Total aktiva (aset) dari BI sebesar Rp 1.180 trilyun ternyata disokong terutama oleh dua komponen besar, yaitu:
a. Surat Berharga, sebesar Rp 766 trilyun atau 64.92% dari total aset, dan
b. Tagihan (kepada pihak lain), sebesar Rp 269,6 trilyun atau 22.85% dari total aset. Jumlah tersebut terutama berasal dari tagihan kepada pemerintah, sebesar Rp 251 trilyun (21,3% dari total aktiva).
2. Jenis aktiva lainnya dalam neraca nilainya tidak sebesar kedua akun tersebut.

3. Terdapat aset berupa emas yang nilainya Rp 29,76 trilyun atau hanya 2.52% dari total aset. Emas tersebut terdiri dari emas batangan, deposito berjangka emas, dan surat-surat berharga emas.
Hal ini berarti emas yang dinyatakan dalam neraca tidak semuanya berwujud emas batangan. Sayangnya tidak ada perincian seberapa besar nilai emas batangan yang sesungguhnya.

B. KEWAJIBAN
Kewajiban merupakan hak atau klaim terhadap sumber daya BI yang merupakan porsi/bagian pemberi pinjaman.
1. Total kewajiban (utang) BI adalah Rp 1.111 trilyun atau 94,17% dari total aset. Ini bermakna bahwa 94,17% aset BI berasal dari utang!
2. Unsur utama dari utang BI ada empat, yaitu uang dalam peredaran (28,67%), giro (23,28%), sertifikat BI (17,59%) dan penempatan berjangka (15,41%). Sedangkan sisanya sebesar 15,05% tersebar dalam beberapa jenis utang. Berikut adalah perincian unsur utama utang BI:
a. Uang dalam peredaran, merupakan uang kertas dan uang logam yang telah dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah, nilainya sebesar Rp 318 trilyun atau 28,67% dari total utang.
Dalam neraca BI, uang dalam peredaran diletakan pada sisi kewajiban (utang) sehingga posisi uang yg beredar merupakan utang BI kepada pemegang uang tersebut. Konsekuensi selanjutnya adalah setiap pemegang uang seharusnya mempunyai klaim terhadap aset BI. Hal ini sangat menarik karena bermakna bahwa uang yang diedarkan BI bukanlah harta yang sesungguhnya, melainkan bukti surat utang BI terhadap pemegang uang.
Muncul pertanyaan, jika memang uang yang beredar merupakan surat utang, klaim apakah yang bisa dilakukan pemegang uang terhadap BI? Tentunya, seharusnya berupa klaim terhadap aset BI. Aset BI sendiri ternyata sebagian besar berupa surat berharga dan aset riilnya hanyalah emas dan sedikit aktiva tetap (tanah dan bangunan).
Jika memang pemegang uang bisa mengklaim emas, maka klaim tersebut tidak bisa terpenuhi karena nilai emas (dengan asumsi semua emas adalah dalam bentuk emas batangan) hanya sejumlah Rp 29,76 trilyun. Bandingkan dengan jumlah uang beredar yang senilai Rp 1.111 trilyun atau 37 kali lipat nilai emas. Tentu saja klaim atas emas tidak dapat dilakukan karena BI tidak menjamin peredaran uang dengan emas.
Jadi, uang yang beredar yang merupakan utang BI ke masyarakat ternyata tidak bisa dilakukan klaim atas aset riil sehingga surat utang tersebut sifatnya hampa. Ibarat cek, uang yang kita pegang adalah cek yang tidak bisa diuangkan karena tidak ada dana yang tersedia!
b. Giro yang merupakan simpanan pada BI, sebesar Rp 258,6 trilyun atau 23,28% dari total utang. Giro/simpanan tersebut berasal dari:
1) pemerintah, sebesar Rp 91 trilyun, atau 8,19% dari total utang;
2) bank, sebesar Rp 166,1 trilyun atau 14,95% dari total utang;
3) lainnya, sebesar Rp 1,5 trilyun atau 0,14% dari total utang.
Dapat diketahui bahwa giro/simpanan dari bank mempunyai porsi yang terbesar dibanding yang lainnya.
c. Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sebesar Rp 195,5 trilyun atau 17,59% dari total utang. SBI merupakan pengakuan utang jangka pendek BI. Pihak yang menempatkan dana pada SBI mayoritas adalah lembaga perbankan.
d. Penempatan Berjangka, sebesar Rp 171,2 trilyun atau 15.41% dari total utang. Merupakan penempatan dana oleh peserta operasi moneter (lembaga perbankan) secara berjangka di BI.
e. Berbagai jenis utang lainnya senilai Rp 167,2 trilyun atau 15,05% dari total utang terdiri dari Sertifikat Bank Syariah, Penempatan Dana dan lain-lain.

3. Jika dikelompokan dari jenis sumber pemberi utang maka utang BI terutama berasal dari swasta (lembaga perbankan) yaitu 58,1% dari total utang. Ini memberikan bukti bahwa pemegang klaim mayoritas terhadap BI adalah pihak swasta (perbankan). Perincian sumber utang adalah berasal dari:
a. Pihak swasta (perbankan) sebesar Rp 645,6 trilyun atau 58,1% dari total utang, yaitu dari Giro dari bank dan lainnya (selain pemerintah), Sertifikat Bank Indonesia, Penempatan Berjangka, Penempatan Dana, Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah, Surat Berharga yang Dibeli dengan Janji Dijual Kembali dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah;
b. Masyarakat, melaui uang beredar sebesar Rp 318 trilyun atau 28,67% dari total utang;
c. Pemerintah, sebesar Rp 91,1 trilyun atau 8,2% dari total utang, terdiri dari giro pemerintah dan pinjaman pemerintah;
d. Luar negeri dan lain-lain, sebesar Rp 55,88 trilyun atau 5,03% dari total utang.

C. EKUITAS
Ekuitas merupakan hak atau klaim terhadap sumber daya BI yang merupakan porsi/bagian pihak selain pemberi pinjaman. Ekuitas BI hanya berjumlah Rp 68,8 trilyun atau 5,83% dari total aset.

Dengan melihat data neraca BI tersebut di atas, beberapa hal yang bisa kita simpulkan adalah:
1. Uang yang dimiliki/beredar di masyarakat merupakan surat utang Bank Indonesia kepada para pemegang uang tersebut. Akan tetapi, atas surat utang tersebut BI tidak menyediakan aset riil yang cukup untuk menjaminnya. Ini berarti bahwa uang tersebut adalah uang yang hampa karena BI tidak pernah bisa memberikan pelunasan atas surat utang yang dikeluarkannya.

2. Emas yang dimiliki BI sangat sedikit, yaitu hanya Rp 29,7 trilyun, tidak sampai 2.52% dari total aset. Itu pun yang nyata-nyata berwujud emas batangan jumlahnya di bawah angka tersebut.

3. Pemerintah RI dan BI adalah dua entitas yang berbeda. Secara akuntansi terbukti dari adanya akun di neraca BI, sisi aktiva, berupa tagihan kepada pemerintah dan di sisi utang terdapat giro (simpanan) pemerintah dan pinjaman pemerintah;

4. Pemilik hak atau klaim mayoritas terhadap BI secara nyata adalah pihak swasta yaitu bank-bank yang menempatkan dana di BI melalui SBI maupun surat berharga lainnya.
Kesimpulan dari sudut pandang akuntansi tersebut ternyata senada dan mendukung uraian yang dipaparkan dalam buku Euforia Emas. Dengan demikian, analisis yang berbeda sekalipun tetap menghasilkan kesimpulan yang sama. Selanjutnya, dengan fakta tersebut seharusnya menjadikan kita lebih cerdas dalam mengambil keputusan.

Sangatlah tepat ajakan dari penulis buku Euforia Emas untuk kembali menggunakan dinar emas dan dirham perak, uang sejati yang tidak perlu jaminan dari siapa pun, karena Allah, subhanahu wa ta'ala, lah yang menjamin nilainya. Dinar emas dan dirham perak adalah uang yang adil yang digunakan untuk menunaikan zakat mal dan muamalah. Selamat membuat keputusan!




Sumber : http://wakalanusantara.com/detilurl/Menyoal.Posisi.Rupiah.dan.Bank.Indonesia/1111/id

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Subscribe