Perlindungan Untuk Pemilik 1 Ekor Kambing

7:51 PM

Meskipun teknologi informasi dan distribusi telah begitu majunya, saat ini di dunia masih ada sekitar 3 milyar penduduk dunia yang tidak terjangkau oleh para kampiun pemasar produk-produk korporasi. Sepuluh persen dari yang tidak terjangkau tersebut karena berbagai alasan seperti daerah terpencil dlsb, 90 %-nya atau sekitar 2.7 milyar memang tidak memiliki daya beli yang cukup karena daya beli mereka yang kurang dari US$ 2/hari. Lantas siapa yang akan bisa melayani mereka ini dengan adil ?

 

Korporasi-korporasi besar dunia tentu sangat ingin untuk bisa menggarap pasar yang besarnya lebih dari 40 % penduduk bumi tersebut. Dunia perbankan misalnya sangat ingin menjangkau mereka dengan apa yang disebut Inclusive Banking, industri asuransi ingin menggapai mereka dengan apa yang mereka sebut Micro Insurance, sedangkan operator seluler menggarap mereka dengan iming-iming pulsa murah dlsb.

 

Bila perbankan, asuransi dan perusahaan telekomunikasi sangat ingin menggarap pasar besar ini, tentu ini lebih untuk kepentingan mereka sendiri. Pasar-pasar mereka selama ini ada di masyarakat yang berdaya beli cukup sudah digarap habis-habisan - sudah menjadi red ocean oleh sengitnya pertumpahan darah persaingan sesama pemain.

 

Maka mereka rame-rame mencari laut yang masih biru blue ocean karena belum ada yang menggarapnya dengan cukup selama ini. Tetapi karena semua pemain juga mengincar laut yang masih biru ini, maka akan segera terjadi tragedy of the commons laut yang biru-pun akan segera menjadi merah oleh sengitnya pertumpahan darah persaingan di antara pemain-pemain yang kuat.

 

Siapa yang menjadi korbannya ?, tentu ya para penghuni laut yang semula biru tersebut. Masyarakat miskin dengan penghasilan kurang dari US$ 2/hari ( menurut laporan McKinsey di Indonesia hampir 50% penduduknya masuk kategori ini) yang belum tentu butuh produk-produk semacam perbankan, asuransi, pulsa telpon dlsb tiba-tiba tergiur untuk menggunakan sebagian penghasilannya untuk produk-produk sekunder atau bahkan tersier ini.

 

Ini mirip kisah pemilik satu ekor kambing yang harus menyerahkan satu-satunya kambing yang dimiliinya kepada saudaranya yang sudah memiliki 99 ekor kambing hanya karena dia kalah dalam berdebat. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan". (QS 38 :23).

 

Perusahaan-perusahaan besar dengan dukungan institusi resmi pemerintah dan bahkan juga institusi-institusi global tentu pandai berdebat dalam bentuk program, lobby, iklan dlsb. sehingga rakyat miskin pemilik satu ekor kambing mudah sekali dikalahkan dengan rayuannya.

 

Rakyat miskin tidak ada yang mengajari mereka untuk berdebat, untuk mempertahankan satu-satunya kambing penghasilan mereka. Bahwa yang mereka butuhkan adalah masih produk-produk pemenuhan kebutuhan primer seperti makanan yang sehat yang terjangkau, pakaian yang bersih yang cukup untuk menutup aurat, rumah tinggal yang layak tempat berlindung dari panas dan hujan dan sejenisnya.

 

Tetapi siapa yang akan membantu pemilik satu ekor kambing ini mempertahankan kambingnya ? Seharusnya hakim yang adil atau otoritas pemerintah yang melindunginya. Tetapi bila kini hakim yang seharusnya adil-pun sudah bisa disuap sama dengan kalangan legislatif dan eksekutifnya, maka sangat bisa jadi posisi pemilik satu ekor kambing itu kini memang tidak terlindungi.

 

Lantas apa yang bisa kita lakukan bersama agar satu-satunya kambing milik kita tersebut tidak diambil oleh si kaya pemilik 99 ekor kambing ? setidaknya ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan.

 

Pendekatan pertama adalah membangkitkan kekuatan pasar barang-barang kebutuhan primer masyarakat seperti bahan pangan, pakaian dan papan sehingga masyarakat miskin akan memfokuskan daya belinya untuk hal-hal yang bener-bener perlu.

 

Kekuatan pasar ini harus dari dan untuk masyarakat miskin itu sendiri, dan untuk ini diperlukan agen atau akselerator perubahan yang mengedukasi mereka untuk mementingkan produk-produk primer. Agar sustainable, agen atau akselerator perubahan ini-pun harus mendapat insentif yang tidak kalah dengan insentif yang diberikan oleh produsen produk-produk sekunder atau tersier.

 

Ini besar peluangnya untuk bisa dilakukan karena produsen produk-produk primer bisa dibangkitkan dari lingkungan masyarakat itu sendiri, sedangkan produk-produk sekunder atau tersier umumnya diproduksi secara tersentralisir di pusat-pusat kota perlu upaya ekstra untuk menjangkau masyarakat miskin.

 

Pendekatan kedua adalah dengan tidak apriori terhadap produk-produk sekunder maupun tersier tetapi membantu masyarakat miskin untuk memilihnya dengan produk-produk yang sesuai dengan kepentingan mereka.

 

Tidak ada salahnya produk perbankan sampai mereka, tetapi bukan yang ribawi yang mencekik leher mereka. Bila perbankan bisa memberi akses mereka modal yang non-ribawi dan tidak memberatkan masyarakat miskin, bisa saja produk ini bermanfaat.

 

Demikian pula asuransi, bila ada model tolong-menolong (taawun) yang efektif sehingga masyarakat bisa saling memikul beban bersama tidak dieksploitasi oleh kapitalisme yang mencari untung semata maka bisa jadi pula tolong-menolong yang terorganisir ini bermanfaat bagi masyarakat miskin.

 

Industri telekomunikasi juga demikian, mestinya mereka bisa membuat kampanye program agar pulsa yang dibeli oleh masyarakat bawah ini produktif untuk meningkatkan penghasilan mereka bukan sekedar untuk mengobrol yang tidak perlu, yang menguras kantong mereka sekaligus mengambil sebagian waktu produktif mereka.

 

Kategori : Entrepreneurship
Published on Tuesday, 22 October 2013 06:41
Oleh : Muhaimin Iqbal

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Subscribe