Kurma Untuk Pengentasan Kemiskinan
7:23 PM
Menurut pengakuan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin di Republika bulan lalu (04/03/2013), penurunan angka kemiskinan di Indonesia berjalan sangat lambat. Sangat lambat. Salah satu penyebabnya karena tidak fokus dalam penanganannya ungkap beliau di media tersebut. Data kemiskinan terakhir (September 2012) menunjukkan angka resmi kemiskinan ini masih berada di 28.59 juta orang atau 11.66% dari penduduk Indonesia. Menurut saya, salah satu penyebab lestarinya kemiskinan ini adalah karena kita salah makan !
Kok bisa ? dalam tulisan saya bulan lalu Golongan Kanan yang Memberi Makan (26/03/13) saya ungkapkan bahwa produksi pangan dunia itu saat ini cukup untuk memberi makan bagi lebih dari dua kali penduduk bumi. Tetapi karena bahan pangan itu diproduksi oleh negeri kaya yang tidak terjangkau oleh sebagian penduduk negeri miskin maka kemiskinan dan kelaparan itu masih mewarnai sebagian dari penduduk bumi.
Untuk kasus kita di negeri ini, kita mengimpor gandum untuk bahan makanan penduduk sampai pelosok-pelosok (mie dan sejenisnya) padahal ini juga bukan makanan asli kita. Kita mengimpor sebagian beras, jagung, kedelai, susu, daging dlsb. dlsb. Intinya kita masih membeli makanan kita bukan memproduksinya sendiri secara cukup.
Untuk mampu membeli, kita butuh uang, sedang untuk bisa memiliki uang kita harus bekerja. Maka ketersediaan lapangan kerja menjadi salah satu kunci pengentasan kemiskinan itu. Bagaimana kalau sebagian besar lapangan kerja itu diambil oleh negeri lain negeri yang memproduksi bahan makanan yang kita impor tersebut ? itulah lingkaran setan yang melestarikan kemiskinan itu.
Lingkaran kemiskinan ini harus kita putuskan rantainya agar kemiskinan tidak lagi lestari. Tetapi bagaimana caranya ? salah satunya adalah dengan berhenti mengimpor makanan kita dan sekaligus juga menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Tetapi dari mana memulainya ?
Rata-rata kepemilikan lahan petani di Indonesia hanya 0.34 ha per keluarga petani (BPS, 2010). Inipun rata-rata di Indonesia, rata-rata di wilayah padat penduduk seperti Pulau Jawa yang mewakili lebih dari separuh penduduk Indonesia tentunya jauh lebih kecil lagi.
Lantas ditanami apa lahan yang sangat sempit tersebut ? disinilah masalahnya. Ketika kita berfikir bahwa bahan pangan kita harus beras, kedelai, jagung atau bahkan gandum - maka akan sulit sekali memproduksi bahan pangan yang ekonomis dengan luasan lahan tersebut.
Untuk menanam padi diperlukan kerja keras luar biasa setiap musim tanam sampai panennya, diperlukan air yang banyak dan bahkan dalam kondisi alam kita sekarang juga dibutuhkan biaya pupuk dan insektisida yang besar. Walhasil produksi padi pak tani sering menjadi kurang sepadan dengan seluruh tenaga dan biaya yang dikeluarkannya.
Karena bertani menjadi kurang menarik, tenaga kerja pedesaan berbondong-bondong menuju perkotaan mencari kerja di kota yang belum tentu juga ada. Akibatnya kini di Jawa, jumlah penduduk miskin itu nyaris berimbang antara di desa (8.7 juta) dan di kota (7.1 juta). Fakta ini sepertinya mensyiratkan bahwa pembanguan yang berpusat di kota bukan menjadi solusi pengentasan kemiskinan itu.
Maka
kita harus berani berfikir berbeda, bahwa makanan kita tidak harus
semata tergantung dari padi, jagung, kedelai, gandum dan sejenisnya yang
memerlukan skala ekonomis tertentu untuk dapat memproduksinya secara
efisien.
Makanan
kita harus bisa ditanam secara ekonomis di luasan lahan yang sempit
sekalipun. Makanan kita harus bisa ditanam dengan hasil cukup tanpa
harus memerlukan input (tenaga kerja, biaya, benih, pupuk dlsb) yang
besar, untuk inilah saya memilih kurma.
Mengapa kurma ? selain petunjukNya itu mengarah pada tanaman ini
– nilai ekonomis tanaman kurma juga mudah dinalar. Perpohonnya hanya
membutuhkan luasan area sekitar 64 m2, dia cukup ditanam sekali dan akan
hidup sampai seratus tahun bahkan lebih. Artinya sekali ditanam, sampai
generasi anak cucu sudah tidak lagi membutuhkan inputan yang banyak –
untuk bisa menghasikan kurma secara terus menerus.
Bila
0.34 ha tanah pak tani separuhnya anggap saja tanah gersang dan hanya
yang gersang ini yang ditanami kurma – maka rata-rata petani bisa
menanam sampai sekitar 26 pohon kurma. Dengan asumsi separuh pohon
jantan saja, petani masih memiliki 13 pohon kurma betina. (rasio betina
ini bisa diperbanyak melalui teknik pembibitan kultur jaringan, tetapi
saya ambil angka yang konservatif saja).
Hasil
pohon kurma yang baik sekali musim berkisar antara 80 kg s/d 300 kg,
saya ambil yang terkecil 80 kg sekali musim dalam setahun (bisa dua kali
, tetapi lagi-lagi saya ambil yang konservatif). Maka lahan gersang pak
tani bisa memberikan hasil 13x80 kg = 1,040 kg setahun. Jumlah ini
kurang lebih cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori 3 orang dalam
setahun.
Bayangkan
hanya dengan memanfaatkan lahan gersang para petani, dengan effort yang
minimal – karena sekali ditanam dia akan bertahan sampai beberapa
generasi yang akan datang, kurma sudah bisa berkontribusi dalam
memberikan bahan makanan yang cukup bagi penduduk negeri ini.
Bila
bahan makanan cukup dihasilkan di negeri ini, kita bisa menurunkan
biaya impor bahan makanan kita dari negeri lain sampai ke titik
minimumnya – disinilah lingkaran setan yang melestarikan kemiskinan itu
mulai kita putus rantainya. Penghematan dari impor bahan makanan ini
bisa menjadi investasi yang menciptakan lapangan kerja dan membangun
kemakmuran di negeri yang mandiri pangan ini nantinya.
Kalau
menurut ketua BPS diatas penyebab lambatnya laju penurunan kemiskinan
itu karena penanganan yang kurang fokus, maka melalui tulisan ini saya
tawarkan solusi yang fokus – fokus pada pengadaan kebutuhan pokok utama
kita yaitu makanan, fokus pada petunjukNya dan lebih spesifik lagi fokus
pada makanan para Nabi yaitu kurma !
Pada
waktunya nanti saya akan melengkapi tulisan ini dengan nilai dari 13
pohon kurma jantan – yang masih saya sisihkan dalam perhitungan di atas.
InsyaAllah.
(BERSAMBUNG)
- Details
- Kategori : Entrepreneurship
- Published on Thursday, 25 April 2013 08:37
- Oleh : Muhaimin Iqbal
0 comments