Bermimpi Mengatur Negeri, Agar Negeri Tidak (Jadi) Bangkrut
8:30 PMOleh Muhaimin Iqbal
Selasa, 05 July 2011 07:36
Membaca berita di harian Republika dua hari ini (04-05/07/11) dengan judul “Belanja Pegawai Dorong Kebangkrutan” dan “Belanja PNS Tak Terkontrol”
membuat saya miris melihat angka-angka yang disajikannya. Betapa tidak,
belanja pegawai di APBN kita telah naik dua kalinya selama empat tahun
terakhir, sementara pertumbuhan APBN-nya sendiri sangat jauh dibawah
pertumbuhan biaya pegawai yang mencapai rata-rata di kisaran 19% per
tahun ini. Pertanyaannya adalah dengan belanja yang begitu besar tersebut apakah kesejahteraan pegawai negeri selama empat tahun terakhir melonjak dua kalinya ?. Bagaimana dengan kesejahteraan rakyatnya ?.
Belanja pegawai yang naik 2 kalinya tersebut ternyata sangat dekat dengan teori peluruhan daya beli mata uang kertas yang saya tulis lebih dari setahun lalu.
Artinya kenaikan belanja pegawai yang lebih dari 3 kali pertumbuhan
ekonomi rata-rata ini sebenarnya kurang lebih hanya setara dengan
apresiasi harga emas pada periode yang sama. Bila harga emas ini kita
gunakan sebagai cerminan daya beli atau tingkat kemakmuran baku – maka selama empat tahun terakhir rata-rata pegawai negeri memiliki tingkat kemakmuran yang relatif tetap.
Ini
berlaku baik belanja pegawai yang dirupakan dalam bentuk gaji,
tunjangan dlsb yang diterimakan dalam Rupiah; atau yang sifatnya
fasilitas seperti jaminan kesehatan dan sejenisnya. Dengan naiknya
anggaran belanja 2 kali-nya tidak berarti lantas layanan yang diterima
masing-masing pegawai menjadi meningkat dua kalinya.
Lantas
dimana masalahnya ?, pihak yang membayar yaitu pemerintah telah
mengeluarkan anggaran yang terus melambung – sementara yang menerima
pembayaran yaitu para pegawai bisa jadi tidak merasakan kesejahteraannya
ikut melambung. Artinya bila status loose -loose
semacam ini terus berjalan, maka kemungkinan yang terjadi adalah
seperti yang ditulis dalam judul berita-nya Republika tersebut diatas –
negaranya bisa bangkrut, sementara para pegawai juga tidak merasakan
kemakmuran-nya.
Tanda-tanda
kebangkrutan ini sudah begitu nyata, di beberapa daerah belanja pegawai
mencapai lebih dari 70% dari belanja daerahnya, bahkan ada yang sudah
mencapai 83 %. Lantas apa yang tersisa untuk pembangunan, memelihara
infrastruktur, layanan masyarakat dlsb ?. Inilah dampak yang mengerikan
itu, jalan-jalan tidak dibangun apalagi dipelihara, lampu penerangan
mati tidak diganti, pusat-pusat layanan masyarakat seperti rumah sakit,
pasar dlsb. tidak lagi dibangun dlsb.dlsb.
Disamping
biaya pegawai yang sudah ketahuan angkanya begitu besar tersebut, ada
beban biaya pegawai yang amat sangat besar yang kini juga belum
terungkap yaitu dana pensiun yang akan dibayarkan ke pegawai-pegawai
tersebut dan jaminan kesehatan hari tua-nya. Biaya-biaya yang akan
datang ini akan ikut membengkak sebagai dampak langsung dari
membengkaknya biaya yang timbul kini.
Harus ada keberanian yang luar biasa bagi para pihak untuk melakukan perubahan yang sifatnya revolusioner agar situasi loose-loose ini menjadi win-win. Dan perubahan ini harus dari atas, tidak bisa dari bawah. Para CEO perusahaan besar – banyak yang capable untuk melakukan perubahan besar ini
– mulai dari memangkas jumlah departemen sampai mengurangi jumlah
pegawai. Karena skalanya negara – tentu lebih rumit dan lebih luas
dampaknya – namun tidak berarti tidak bisa dilakukan.
Yang diperlukan adalah seorang Hafiidzun ‘Aliim seperti Nabi Yusuf yang mau mengajukan diri untuk menyelamatkan negerinya dari paceklik yang imminent,
Orang yang pandai menjaga (mengelola) dan berpengetahuan inilah yang
akan bisa membuat langkah-langkah yang tidak biasa yang ditunjang oleh
kedalaman ilmunya. Saya belum tahu siapakah tokoh Hafiidzun ‘Aliim tersebut di negeri ini dan di jaman ini, tetapi mestinya ada – lha wong penduduk Indonesia mencapai 240-jutaan - masak nggak ada yang memenuhi syarat.
Sambil menunggu adanya Hafiidzun ‘Aliim
yang barangkali mau mencalonkan diri jadi Presiden Indonesia 2014, saya
hanya bisa ‘bermimpi’ seperti apa gerangan langkah-langkah luar biasa
yang akan menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan. Berikut adalah
langkah-langkah dalam ‘mimpi’ saya tersebut ;
Pertama yang dia lakukan adalah
memangkas drastis struktur kabinet yang saat ini terdiri dari 4 Menko,
20 Menteri yang memimpin departemen , 10 Menteri negara yang tidak
memimpin departemen dan 3 pejabat setingkat menteri. 37 Menteri atau setingkat menteri ini dipangkas tinggal 7 saja atau kurang dari 1/5-nya.
Mengapa
hanya 7 ?, begini logika ‘mimpi’nya – bila persoalan itu terlalu rumit
sehingga sulit kita pahami apalagi pecahkan – maka paling mudah
menyelesaikannya adalah dengan melihat contoh soal dan penyelesaiannya
yang sudah dilakukan oleh ahlinya. Siapakah ‘ahli’ yang paling layak kita contoh tersebut ?,
ya siapa lagi kalau bukan Uswatun Hasanah kita yaitu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam sejarah Islam – rata-rata tujuh
bidang tersebutlah yang ada di negara-negara khilafah mencontoh af’al (perbuatan)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa saja bidangnya tentu perlu
dikaji secara lebih mendalam – maklum di ‘mimpi’ tentu semuanya perlu
diperjelas, tetapi bisa dipelajari dari sejarah negara-negara khilafah.
Mungkinkah
ini dilakukan di jaman ini ?, saya melihat kemungkinannya dari dua
contoh. Pertama adalah contoh di puncak kejayaan negara khilafah yang
wilayahnya meliputi tiga benua, sebagian Eropa, sebagian Afrika dan
sebagiannya Asia, tanpa bantuan teknologi informasi dan telekomunikasi
yang canggih – mereka bisa mengelola negara dengan efektif.
Kedua adalah contoh di jaman teknologi ini, ada setidaknya dua ‘negara’ besar yaitu ‘Negara Google’ dan ‘Negara Facebook’ yang
setiap saat melayani ‘penduduk’-nya yang lebih banyak jumlahnya dari
rata-rata penduduk negara betulan. Masing-masing ‘penduduk’ tersebut
tunduk dan patuh mengikuti segala aturan yang diberlakukan si pengelola
‘negara’. ‘Negara Google’ bahkan mampu memelototi apa yang terjadi di
setiap jengkal wilayahnya yang menyelimuti seluruh permukaan bumi dan
mampu pula mendeteksi apa yang dikehendaki (dicari) rakyatnya !.
Walhasil
di jaman teknologi ini, mengelola negara betulan dengan bantuan
teknologi canggih mestinya sangat mungkin untuk bisa dilakukan dengan
jumlah departemen yang 1/5 dari yang kini ada, dan konsekwensinya jumlah
pegawai yang diperlukan juga kira-kira hanya seperlima dari jumlah
pegawai yang ada. Bila masing-maisng pegawai pilihan yang bertahan
digaji dua kali lipatnya saja, maka negara hanya akan butuh sekitar 40 %
dari belanja pegawai sekarang.
Lantas
bagaimana dengan masalah 80 % pegawai yang tidak lagi di tampung
sebagai pegawai negeri ?. Dalam ‘mimpi’ saya tersebut si Hafiidzun ‘Aliim
ini menawarkan sudut pandang lain, yaitu tidak memandang pegawai negeri
yang sangat banyak ini sebagai masalah – tetapi justru mereka inilah
solusi itu !. Lho kok bisa ?.
Terlepas
dari realita seleksi masuknya yang tidak sepenuhnya mengandalkan
kompetisi dalam kompetensi, tetapi bila di rata-rata – para pegawai
negeri tersebut adalah kelompok masyarakat yang kelasnya di atas
rata-rata penduduk pada umumnya. Mereka adalah orang orang yang
berpendidikan lebih di masyarakatnya.
Jadi sangat wajar bila mereka ‘diberi tugas lebih’ oleh pemimpin yang Hafiidzun ‘Aliim
tersebut untuk menjadi ‘tentaranya’ dalam memakmurkan negeri dan
penduduknya. Puluhan juta orang yang tadinya kerja di kantor-kantor ini,
mereka akan terjun di pasar-pasar sebagai pedagang yang tangguh, di
lahan-lahan perkebunan memakmurkan bumi, di laut mengelola hasil laut
dan menyelamatkannya dari jarahan negeri lain, mengelola tambang-tambang
dan mengambil alih peran asing, memproduksi barang-barang unggulan yang
mampu bersaing di pasar global dst.dst.
Sayang ini hanya mimpi, tetapi adakah cara yang lebih baik untuk menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan ?, dimana engkau si Hafiidzun ‘Aliim ?, kami menunggumu sebelum 2014 !. InsyaAllah.
0 comments