Kegagalan Euro, Kegagalan Uang Kertas
7:10 AMOleh Muhaimin Iqbal
Kamis, 14 July 2011 08:17
Ketika
18 tahun lalu sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa
menyepakati Perjanjian Maastricht untuk menggunakan mata uang tunggal
Euro, dunia ikut antusias menyambutnya. Saat itu seolah ada harapan akan
lahirnya mata uang baru yang bisa digunakan sebagai reserve currency,
dan mengurangi ketergantungan dunia terhadap US Dollar. Untuk beberapa
tahun di usia awalnya memang Euro berkinerja menarik, daya belinya
menguat sampai usianya yang ketujuh. Namun ternyata sama seperti mata
uang kertas lainnya, Euro nampaknya tidak akan mampu bertahan sampai
usia lanjut.
Sejak
menginjak usia ke delapan sampai kini di usia yang kedelapan belas,
Euro terus kehilangan daya belinya. Terhadap emas daya beli Euro
sekarang hanya kurang dari 1/3 dibandingkan dengan daya belinya ketika
lahir 18 tahun lalu. Ilustrasi grafik dibawah menggambarkan situasi ini.
Dibandingkan dengan US$ memang Euro masih relatif baik, tetapi ini
karena US$-nya yang berkinerja sangat buruk beberapa tahun terakhir.
Kinerja yang sesungguhnya dapat dilihat pada daya belinya terhadap emas
yang terus merosot.
Kegagalan
Euro ini menambah panjang daftar pelajaran bagi kita – bahwa tidak
satu-pun mata uang kertas yang mampu mempertahankan daya belinya dalam
jangka menengah apalagi dalam jangka panjang. Bila Euro saja yang
dilahirkan di jaman modern dengan dukungan sejumlah besar negara-negara
di zona ekonomi paling maju di dunia – tidak mampu mempertahankan
eksistensinya dalam jangka panjang, lantas apakah kita bisa yakin bahwa
mata uang yang kekuatannya hanya mengandalkan ekonomi satu negara yang
biasa-biasa saja – akan mampu bertahan ?. Inilah yang perlu kita
antisipasi, agar kita tidak menjadi korban kegagalan mata uang kertas
yang setidaknya sudah dua kali terjadi di negeri ini yaitu tahun
1965/1966 ketika terpaksa diberlakukan sanering Rupiah, dan 1997/1998 ketika daya beli uang kita turun tinggal ¼-nya.
Lantas
apa yang bisa kita lakukan untuk dapat menghindari dampak buruk dari
penurunan daya beli uang kertas (apapun namanya) ini ?.
Untuk
skala pribadi, gunakan uang kertas hanya sebatas alat tukar untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan jangka pendek lainnya.
Untuk kebutuhan yang sifatnya jangka panjang seperti dana pensiun,
tabungan biaya kesehatan untuk hari tua, biaya sekolah anak-anak kelak
dlsb. rupakan dalam bentuk benda riil yang mampu mempertahankan nilai
(seperti emas/Dinar) – syukur-syukur bisa menumbuhkan nilai dan manfaat (
seperti pohon-pohon, kebun, usaha perdagangan dlsb).
Untuk skala negara sangat banyak yang bisa dilakukan, diantaranya :
- Minimisasi penjualan (penukaran) kekayaan alam yang riil dengan uang kertas yang terus merosot nilainya. Untuk apa tabungan (devisa) kita dalam US$ terus meningkat tetapi sumber-sumber kekayaan alam kita berupa emas, batu-bara, minyak, hutan, ikan dilaut dlsb. terus dikuras dan dibawa keluar ?.
- Hijaukan bumi kita yang mulai gersang dengan tanaman-tanaman penghasil makanan maupun tanaman peneduh. Tanaman pangan sudah jelas kita butuhkan, tanaman peneduh selain menjaga udara juga menjaga ketersediaan air – yang kini juga sudah semakin mahal bagi sebagian masyarakat.
- Fasilitasi rakyat untuk membangun ketahanan ekonomi dengan menabung benda riil – apapun bentuknya, dan mengurangi ketergantungan terhadap tabungan uang kertas dalam jangka panjang. Permudah ijin perdagangan, perkebunan/pertanian, peternakan dlsb.
- Hidupkan pasar-pasar yang bisa diakses atau dijangkau semua kalangan agar terjadi perputaran benda riil – kebutuhan masyarakat – yang sesungguhnya.
- Ajari anak-anak kita – generasi yang akan datang – untuk pandai berdagang, bertani, beternak, berusaha/investasi yang sesungguhnya – jangan hanya ajari anak-anak untuk pandai menabung.
- Dlsb.dlsb.
0 comments