NEET : Penyakit Generasi Pemuda
9:59 PMMajalah ekonomi terkemuka dunia yang berbasis di London – The Economist –
pekan lalu mengungkap fakta yang mengejutkan. Bahwa di seluruh dunia
ada sekitar 300 juta pemuda usia 15-24 tahun atau mewakili sekitar 25 %
pemuda dunia di rentang usia tersebut yang kini dalam status menganggur
total. Mereka tidak bekerja, tidak sekolah dan tidak sedang menjalani
pelatihan sehingga disebut NEET singkatan dari Not in Employment, Education or Training. Bagaimana kita bisa mencegah atau mengobati generasi pemuda yang berpenyakit NEET ini ?
NEET
ini adalah penyakit yang merusak pemuda lebih dari penyakit fisik pada
umumnya. Yang dirusak oleh NEET adalah mental, karena bila sampai pemuda
mengalami NEET pada usia emas pengembangan dirinya – maka lebih kecil
kemungkinannya untuk bisa berkembang setelah melewati usia emas ini.
Penyakit ini seperti wabah yang menular dengan sangat cepat ke seluruh
dunia – maka seluruh pihak harus aware dan segera berbuat untuk mencegah penularannya dan mengobati mereka yang telah terlanjur terjangkit.
Sebagaimana
penyakit pada umumnya, untuk mencegah atau mengobatinya kita perlu tahu
apa yang menyebabkan penyakit tersebut. Menurut majalah tersebut di
atas ada tiga penyebab penyakit NEET ini, tetapi saya sendiri
mengidentifikasi setidaknya ada lima fenomena ekonomi dunia yang
menumbuh kembangkan penyakit NEET ini.
Pertama adalah Low Growth atau pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sejak krisis financial global 2008, dunia tertatih-tatih berusaha me-recovery
diri dari krisis yang belum sepenuhnya pulih hingga kini. Dampaknya
hampir di seluruh dunia terjadi pertumbuhan ekonomi yang melamban.
Pertumbuhan yang melamban membuat perusahaan-perusahaan dunia
menghentikan recruitment baru atau bahkan mengurangi tenaga
kerjanya. Walhasil pengangguran di usia pemuda meningkat 30% sejak
krisis 2008 sampai sekarang.
Kedua adalah Clogged Labor Markets atau kebuntuan pasar tenaga kerja. Ini umumnya disebabkan oleh kombinasi penyebab pertama dengan paradox
peraturan ketenagaan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang melamban membuat
perusahaan enggan menciptakan lapangan kerja baru, sementara peraturan
pemerintah yang terlalu melindungi tenaga kerja – membuat perusahaan
sulit mempensiunkan tenaga kerja yang sudah tidak lagi produktif
sekalipun. Akibatnya perusahaan-perusahaan memilih jalan aman dengan
mengoptimalkan tenaga kerja lama dan tidak menerima tenaga kerja baru.
Ketiga adalah Education Mismatch
atau ketidak sesuaian lulusan sekolah/perguruan tinggi dengan tenaga
kerja yang dibutuhkan oleh industri. Akibatnya mirip dengan penyebab
kedua, yaitu perusahaan memilih tenaga kerja trampil yang siap pakai –
yang kadang harus dibajak dari perusahaan lain, ketimbang memilih tenaga
kerja baru yang belum siap.
Keempat adalah Disruptive Innovation
yaitu inovasi-inovasi yang membuat proses produksi dan proses business
berjalan lebih efisien sehingga mengurangi tenaga kerja.
Perusahaan-perusahaan di jaman ini cenderung memilih solusi technology dengan tenaga kerja minimal ketimbang solusi-solusi yang padat karya.
Kelima adalah Globalization
dimana negara-negara yang bisa memproduksi barang atau jasa secara
efisien akan kebanjiran order produksi sementara negara yang tidak
efisien akan kebanjiran pengangguran. Penyakit kelima ini antara lain
yang akan kita hadapi dalam ASEAN Economic Community (AEC) ketika pasar dan basis produksi tunggal berlaku di ASEAN 2015 nanti.
Setelah kita tahu lima penyebab utama wabah penyakit NEET tersebut di atas, maka kini tinggal mengobatinya satu per satu.
Pertama Low Growth harus bisa diubah menjadi High Growth Economy,
seluruh pihak harus fokus pada pertumbuhan ekonomi. Hentikan
kepentingan-kepentingan golongan, kelompok atau daerah. Ibarat
perusahaan, di negeri ini harus ada pemimpin yang nyinyir yang
teriak sana – teriak sini sambil terus meng-orkestrasi-kan pertumbuhan
yang harmonis di seluruh sektor dan daerah. Secara nasional harus ada
pejabat-pejabat yang accountable yang di antara KPI-nya (Key Performace Indicator) adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Di
daerah-daerah KPI para gubernur, bupati dan walikota harus juga
menyangkut pertumbuhan ekonomi di daerahnya masing-masing - mereka harus
menjadi pedal gas untuk pertumbuhan dan bukan pedal rem yang mengerem
pertumbuhan dengan berbagai peraturan yang mempersulit ekonomi tumbuh di
daerahnya.
Kedua Clogged Labor Market
atau kebuntuan pasar tenaga kerja harus dicarikan solusi yang kreatif
dan inovatif – yaitu kombinasi solusi dari sisi peraturan ketenaga
kerjaan dan dorongan atau insentif agar pekerja-pekerja yang potensi
menjadi entrepreneur difasilitasi oleh perusahaan maupun
pemerintah. Ini akan menjadi solusi ganda karena posisi yang
ditinggalkan oleh mantan tenaga kerja yang menjadi entrepreneur akan dapat diisi oleh tenaga kerja yang lebih muda, pada saat yang bersamaan entrepreneur tersebut dapat menciptakan lapangan tenaga kerja baru bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Ketiga Education Mismatch
dapat diatasi bila perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah lebih
banyak mendengar kebutuhan industri dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Ini masalah klasik yang tidak kunjung selesai, padahal apa sulitnya bagi
para peneliti di perguruan tinggi juga sekali-kali meneliti apa sih
yang dibutuhkan industri atau pasar itu ?, dari sini mereka harus
menyesuaikan kurikulumnya agar para lulusannya lebih siap diserap oleh
pasar tenaga kerja. Di Departemen Pendidikan-pun harus ada media untuk
menilai kinerja perguruan tinggi – berdasarkan rasio keterserapan
lulusannya di pasar tenaga kerja.
Keempat Disruptive Innovation
adalah seperti pedang bermata dua, satu sisi dibutuhkan dan satu sisi
lainnya membahayakan korbannya. Maka kelahiran inovasi-inovasi baru
harus diantisipasi dampaknya – agar tidak ada yang menjadi korban, kalau
toh terpaksa ada yang menjadi korban – maka harus dicarikan solusinya
untuk hal lain yang juga produktif.
Kelima Globalization
harus dijadikan peluang bukan ancaman, artinya kita harus bisa
membangun kompetensi yang unggul di pasar global – lebih unggul dari
negara-negara pesaing kita. Kita harus pandai memilih bidang-bidang apa
yang kita lebih berpeluang unggul, kita harus fokus membangun dan
menajamkan keunggulan ketimbang sibuk mengatasi kelemahan. Mengapa
demikian ?
Kalau
kita sibuk memperbaiki kelemahan, paling kita hanya akan menjadi
rata-rata saja karena kelemahan tertutup sementara kunggulan kita tidak
terbangun. Bila kita fokus pada keunggulan, maka kita akan unggul di
suatu sektor sementara masih ada kelemahan di sektor lain – ini tidak
maslah karena di era pasar global yang saling melengkapi kini kita bisa
bermain niche dengan satu atau dua keunggulan yang sungguh-sungguh unggul – maka itupun cukup.
Ambil
contoh dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN – AEC 2015, saya tidak
menganjurkan negara kita mengikuti langkah yang ditempuh Thailand
menutupi kelemahannya dengan memaksakan rakyatnya belajar bahasa
Inggris. Kalau ini kita lakukan, akan sangat melelahkan, membuang resources
yang sangat besar baik dari sisi dana maupun waktu bagi tenaga kerja -
sedangkan hasilnya hanya akan menjadikan kita rata-rata saja. Kalau
orang Indonesia semua berhabasa Inggris-pun, kita hanya akan sama dengan
Singapore, Malaysia dan Philippine yang rakyatnya sudah lebih dahulu
terbiasa berbahasa Inggris.
Bayangkan
kalau effort yang sama kita pakai untuk memperbaiki fokus petani kita
pada buah atau tanaman yang kita unggulkan, memperbaiki tata guna lahan
kita sehingga tidak ada lagi lahan di negeri ini yang ditelantarkan.
Maka betapa banyak tenaga muda negeri ini yang akan terserap untuk
intensifikasi penggarapan lahan-lahan pertanian kita tersebut. Bisa
dibayangkan pula betapa banyak produksi hasil bumi yang akan bisa kita
hasilkan. Maka keunggulan dalam menyerap tenaga kerja sekaligus
memproduksi hasil bumi ini – akan menjadi keunggulan unique negeri ini yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di ASEAN atau bahkan di dunia.
Intinya
kita punya sumber daya internal untuk bisa mencegah mewabahnya penyakit
NEET itu di negeri ini, meskipun tentu saja ini tidak akan mudah.
Setidaknya kita harus mulai menyadarinya bahwa ada penyakit yang
mengancam generasi muda kita – kemudian dengan kerja keras, kerja cerdas
dan mengandalkan petunjukNya semata – maka insyaAllah kita akan bisa
menjadi bangsa yang unggul, dimana pemudanya adalah asset dan bukan liability.
Bagi
para pemuda, agar diri Anda sungguh-sungguh menjadi Asset bagi umat dan
bagi keluarga Anda, hindarkan diri Anda semaksimal mungkin dari
penyakit NEET ini. Bagaimana caranya ?, bekerjalah dengan apa saja yang
Anda bisa – sejauh tidak melanggar hukum negara apalagi hukum agama.
Jangan biarkan ijazah Anda justru membelenggu tangan Anda untuk mulai
bekerja, umat dan bangsa ini menunggu karya Anda !.
0 comments