Pemerintah Selalu Bisa Menurunkan Harga Bbm
2:59 AM
Kita mungkin memang lagi hidup di jaman yang serba tidak enak. Harga bahan pangan terus naik, harga bahan bakar terus melambung, ke-aneka ragaman hayati terus berkurang, hujan menimbulkan banjir, kemarau menimbulkan kelangkaan air dan pendek kata masih ada segudang keluhan lainnya. Tetapi alhamdulillah ala kulli haal, mestinya masih tidak kurang banyaknya yang bisa kita syukuri. Bagaimana caranya ?, salah satunya dengan memahami apa yang sedang terjadi contohnya pada harga BBM.
Wacana kenaikan harga BBM di media hari-hari ini memang banyak menimbulkan keresahan di masyarakat, penyebabnya utamanya adalah masyarakat pasti mudah menghitung dampaknya pada biaya hidup yang akan mereka pikul. Apalagi dalam sejarah kenaikan harga BBM ini pasti juga segera diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Keresahan ini makin menjadi-jadi ketika pihak yang berkompeten dalam memutus harga ini yaitu pemerintah nampak mbingungi sendiri. Sempat muncul ide konyol dengan dua harga sempat menggoda sebagian rakyat untuk berfikir yang tidak-tidak, sebelum akhirnya kembali ke rute yang lebih normal yaitu menaikkan harga tetapi tetap satu harga.
Agar kita bisa lebih mudah memahami bahwa memang waktunya pemerintah menaikkan harga ini, saya menggunakan perhitungan harga premium sebagai contoh dengan menggunakan poin. Kalkulator poin ini dapat Anda peroleh di www.indobarter.vom atau www.unilanx.com.
Logika poin ini adalah karena harga kambing setara dengan 1 Dinar sejak jaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam hingga kini, maka dengan timbangan yang sama yaitu Dinar atau Emas mestinya harga barang-barang lain juga dapat dilihat kewajarannya. Tetapi karena satuan Dinar terlalu besar yaitu lebih dari Rp 2 juta per Dinar saat ini, saya gunakan pecahan 1/10000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar yang saya sebut 1 poin.
Nah dengan menggunakan poin ini, kita bisa melihat kewajaran harga premium sejak lebih dari 40 tahun lalu (1970) seperti pada grafik di samping. Harga premium tertinggi adalah tahun 1970 ketika 1 liter premium seharga Rp 25,- tetapi dalam poin saat itu setara dengan 119 poin. Setelah itu harga premium terus melonjak dalam Rupiah tetapi cenderung turun dalam poin.
Harga premium terendah yang kita nikmati saat ini yaitu Rp 4,500/liter yang di tahun 2012 kemarin ini setara hanya dengan 20 poin saja. Kalau toh pemerintah menaikkan menjadi Rp 6,500/liter tahun 2013 ini, dalam hitungan poin ini hanya setara dengan 32 poin atau jauh lebih rendah dari rata-rata harga premium dalam 40 tahun terakhir yang berada di kisaran 54 poin/liter.
Dari perhitungan ini kita tahu bahwa kenaikan harga dalam Rupiah adalah hanya masalah angka, bukan masalah daya beli, angkanya tinggi tetapi dalam daya beli riilnya rendah.
Bahwasanya kenaikan harga BBM dalam satuan uang Rupiah selalu menjadi kontroversi di negeri ini adalah karena perhatian kita selalu pada angka Rupiah-nya bukan pada daya beli riil-nya.
Maka apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah agar setiap penyesuaian harga BBM (dalam angka Rupiah) tidak berdampak pada kericuhan nasional adalah fokus pada perbaikan daya beli yang ada di masyarakat. Atau dengan kata lain juga yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah fokus pada pengendalian inflasi Rupiah.
Kalau
saja pemerintah bisa mengendalikan nilai Rupiah sejalan dengan nilai
emas (Dinar) dalam 40 tahun terakhir atau lebih, maka dari waktu ke
waktu pemerintah tidak perlu menimbulkan kepanikan di masyarakat dengan
menaikkan harga BBM.
Sebaliknya
pemerintah akan sering menebar kabar gembira ke masyarakat manakala
pemerintah harus menurunkan harga BBM seperti yang tercermin di garis
merah dalam grafik tersebut di atas. Hanya saja karena pemerintah tidak
melakukan yang seperti ini, maka apa salahnya kita menghibur diri dengan
memahami penurunan harga BBM itu dari kacamata Dinar atau poin kita
sendiri !.
- Details
- Kategori : Ekonomi Makro
- Published on Wednesday, 01 May 2013 08:09
- Oleh : Muhaimin Iqbal
0 comments