Saya Bermimpi Lagi Pak Kyai Di Sidang Kabinet
5:51 PM
Waktu krisis kedelai melanda negeri ini hampir sepuluh bulan lalu, saya Bermimpi Pak Kyai diundang hadir di sidang kabinet untuk ikut mengatasinya. Maka ketika hari ini harian Kompas (21/05/13) mengangkat sebagai berita utamanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang semakin lebar di era reformasi yang sudah berjalan 15 tahun terakhir, saya kembali bermimpi Pak Kyai diundang di sidang kabinet untuk membantu menyelesaikan masalah bangsa ini. Mengapa perlu Pak Kyai ?
Sidang kabinet kali ini fokusnya membahas laporan harian Kompas yang mengungkap pembengkakan gap antara si kaya dan si miskin yang diukur dengan index Gini. Sebelum reformasi, index Gini itu berada pada angka 0.35, dan memasuki tahun ke 15 reformasi index Gini malah menjadi 0.41 (semakin besar semakin lebar jurang si kaya dan si miskin itu).
Meningkatnya ketimpangan ini juga ditandai dengan meningkatnya jumlah pengangguran, sebelum era reformasi (1997) pengangguran itu 4.18 juta jiwa (4.68%) sedangkan 15 tahun era reformasi pengangguran malah menjadi 7.17 juta jiwa (5.92%).
Peningkatan pengangguran ini juga tidak terlepas dari meningkatnya ketergantungan kita pada produk-produk industri dan pertanian impor. Ini tercermin dari menurunnya kontribusi sektor industri kita yang turun dari 26.79 % (1997) menjadi tinggal 23.94% (2012). Demikian pula kontribusi sektor pertanian yang mengalami penurunan dari 16.09 % (2007) ke angka 14.44% (2012).
Maka dalam mimpi saya kali ini setelah Pak Presiden mempersilahkan masing-masing menteri yang terkait menanggapi laporan Kompas tersebut, Pak Presiden berucap begini :
Terima kasih tanggapan saudara-saudara para menteri yang terkait, saya yakin apa yang saudara telah sampaikan masing-masing didukung dengan data yang valid dan juga dengan argumentasi yang professional. Kemudian beliau melanjutkan : Namun realitanya bahwa pengangguran itu meningkat, kontribusi sektor produksi industri dan pertanian pada ekonomi keseluruhan menurun. Lantas bagaimana saudara-saudara bisa men-justify realita ini dengan data dan argumen saudara ?.
Karena semua menteri pada diam, Pak Presiden kemudian berbicara lagi : Dalam situasi seperti inikita butuh pemikiran yang out of the box. Pemikiran yang segar diluar data dan argumen yang biasa kita diskusikan di sidang seperti ini. Maka sama dengan yang kita tempuh 10 bulan lalu ketika menghadapi krisis kedelai, kali inipun saya mengundang Pak Kyai untuk hadir di sidang ini. Kita dengarkan pendapat beliau untuk masalah yang kita hadapi kali ini. Kemudian Pak Presiden mempersilahkan Pak Kyai untuk menyampaikan pendapatnya.
Setelah menyampaikan syukur dan salam sebagai muqodimahnya, Pak Kyai-pun berucap : Mohon maaf Bapak Presiden dan para menteri, setelah mendengarkan segala permasalahan yang didiskusikan tadi yang disertai data dan argumen para menteri saya melihat secara bodon (cara orang bodoh memahami masalah), ada hal yang terlewat dari potensi besar ekonomi kita - yang terlupakan. Mendengar perkataan Pak Kyai ini, para menteri mengkerutkan dahi dan Pak Presiden mendekat mejanya untuk meraih microphone kemudian bicara : maksud Pak Kyai Apa potensi besar ekonomi yang terlewatkan itu ?
Pak Kyai tahu banyak menteri yang kurang berkenan dengan pembukaannya, kemudian menjelaskan : Sekali lagi mohon maaf sekali Bapak Presiden dan para menteri, saya sekedar urun rembug dari kaca mata orang bodoh seperti saya. Dia melanjutkan : selama ini saya yakin bapak-bapak sudah bekerja jungkir balik siang dan malam untuk bangsa dan negeri ini, tetapi bila realitanya yang terungkap sebaliknya seperti data yang tersaji tadi berarti ada yang salah dalam pola kerja kita.
Kita berusaha bersaing dengan negara-negara lain dalam bidang teknologi, jasa dan perdagangan kita bersaing dengan kekuatan yang ada di mereka, maka tidak mengherankan kemenangan-pun ada di tangan mereka. Kita menjadi pengimpor produk-produk mereka. Pak Presiden kemudian memotong : Terus menurut Pak Kyai mestinya bagaimana ?
Pak Kyai segera menjelaskan : Tidak ada salahnya mengembangkan kekuatan teknologi, jasa dan perdagangan. Namun yang menjadi ujung tombak persaingan kita haruslah yang kita memang memiliki keunggulan utamanya. Kita harus bersaing dengan kekuatan yang ada di kita. Menurut Pak Kyai apa yang kekuatannya ada di kita itu ? Sela pak Presiden.
Pak Kyai-pun menjawab : Kita dikarunia lahan-lahan subur yang sangat luas di antara dua lautan. Matahari sepanjang tahun dan air hujan-pun rata-rata turun tidak kurang dari separuh tahun. Gunung berapi dan sungai-sungai sangat banyak, semuanya dapat mendatangkan keberkahan tersendiri bagi ekonomi kita. Jadi, lanjut Pak Kyai : Bidang yang kekuatannya ada di kita itu mestinya adalah kehutanan, kelautan dan pertanian pada umumnya !
Banyak menteri yang tentu saja meragukan pernyataan Pak Kyai ini, bahkan menteri-menteri yang terkait dengan kelautan, kehutanan dan pertanian pada umumnya-pun kurang PD (Percaya Diri) bila dianggap bidangnya yang seharusnya menjadi kekuatan itu.
Pak Kyai-pun sudah menduga dan menangkap keraguan itu. Maka dia melanjutkan penjelasannya : Sekarang coba bapak-bapak bayangkan. Industri apa yang paling efisien itu semestinya ? dengan input yang sangat kecil tetapi memiliki output yang sangat besar bahkan cenderung tidak terhingga ? Para menteri semakin tidak nyaman dengan teka-teki Pak Kyai ini, maka tidak ada seorang-pun menjawabnya.
Pak Kyai kemudian menjawabnya sendiri : Industri yang paling efisien itu adalah kelautan, kehutanan dan pertanian. Kalau di industri software misalnya, programmer harus membuat program dari A sampai Z, harus diselesaikannya sendiri dan tidak boleh ada yang salah sedikit-pun. Di industri otomotif pabrikan harus menyediakan seluruh komponen dan kemudian teknisi harus merakitnya secara sempurna sebelum produk bisa dijual. Di industri kreatif, seorang artis harus menyelesaikan karyanya sendiri dari A sampai Z pula agar karyanya bernilai tinggi.
Pak Kyai menarik nafas sambil melihat ke menteri-menteri yang terkait “Tetapi
tidak dengan industri kelautan, kehutanan dan pertanian pada umumnya !.
Di laut Anda tidak perlu tenaga kerja untuk menumbuhkan ikan-ikan yang
kecil menjadi besar. Di hutan tidak butuh tenaga kerja untuk menumbuhkan
bibit-bibit menjadi pohon-pohon besar. Di Pertanian Anda hanya perlu
menaruh bibit, maka Allah-lah yang menumbuhkan dan membesarkannya dengan
hasil berlipat-lipat”.
Para menteri-pun berebut meng-interupsi Pak Kyai. Salah satunya kemudian berbicara : “Tidak
sepenuhnya benar Pak Kyai, Petani tidak bisa hanya menaruh benih
kemudian tumbuh sendiri. Petani harus memupuknya dengan mahal,
menyemprotnya dengan penyemprot hama yang mahal dlsb. walhasil pak
tani-pun tidak memperoleh nilai tambah yang berlipat-lipat seperti kata
Pak Kyai”.
Dengan wawasannya yang luas dan pribadinya yang tenang, Pak Kyai-pun menjawab interupsi Pak Menteri ini : “Disitulah
masalahnya Pak Menteri, selama ini kita ini merusak bumi bukan
memakmurkannya. Laut dicemari dan diambil ikannya- bahkan oleh orang
lain- tanpa aturan sehingga sumber-sumber kekayaan laut itu terkuras
sebelum bisa dinikmati. Hutan-hutan ditebang diganti tanaman monoculture
hanya untuk kepentingan segelintir orang. Para petani dibiarkan mencari
solusinya sendiri-sendiri dalam hal upayanya untuk meningkatkan hasil
dan mencegah hama, mereka mengira pupuk-pupuk kimia, insektisida dan
sejenisnya sebagi solusi – padahal dengan ini semua mereka merusak alam
bukan memperbaikinya. Mereka bertani dengan cara yang mahal dengan hasil
yang tidak seberapa”.
Bapak Presiden-pun berusaha menengahi argumen antara salah seorang menteri dengan Pak Kyai ini. Beliau kemudian menyampaikan : “kalau begitu solusi konkritnya bagaimana Pak Kyai”.
Pak Kyai menjelaskan: “Jiwanya
harus memakmurkan bumi untuk sekarang dan masa depan yang jauh, bumi
tidak boleh dirusak. Maka apa saja yang dimasukkan ke bumi sebagai pupuk
atau yang disemprotkan diatasnya untuk mencegah hama harus berasal dari
bumi itu sendiri – inilah yang dalam bahasa sekarang disebut organik,
bukan bahan-bahan kimia olahan manusia yang memiliki dampak merusak
dalam jangka panjang.”
Salah seorang menteri tetap penasaran dan menginterupsi lagi : “Organik
itu selain mahal, hasilnya juga tidak seberapa. Kita tidak bisa
mengandalkan produksi hasil pertanian kita pada yang organik. Pertanian
organik ini – ideal, indah untuk diucapkan, tetapi sulit untk
direalisasikan”.
Pak Kyai-pun menjelaskan : “Itulah
bedanya Anda dengan saya Pak Menteri, Anda punya team ilmuwan dan
birokrat yang yakin dengan ilmu dan pengalamannya. Maka ilmu dan
pengalaman Anda atau team Anda yang membatasi keputusan yang Anda ambil.
Dan kita tahu sudah hasilnya seperti data-data yang tersaji pada awal
sidang ini”.
Lanjutnya : “Sedangkan
saya, diundang Pak Presiden untuk hadir untuk memberi wawasan yang
lain. Bukan Ilmu saya – karena saya orang bodoh, juga bukan ilmu dan
pengalaman para santri saya – karena mereka anak-anak yang belum
berpengalaman. Tetapi kami yakin dan terus berusahan meningkatkan
keyakinan kami bahwa PetunjukNya itu jelas, komplit dan meliputi segala
sesuatu.”
Pak
Kyai kemudian membacakan beberapa ayat Al-Qur’an di antaranya Surat
Al-Baqarah 185 dan An-Nahl 89, kemudian dia melanjutkan : “Begitu
detilnya petunjuk itu, sehingga selalu saja ada ayat yang pas untuk
di-taddabur-i bila Anda petani pada setiap tahap penanaman tanaman Anda
misalnya.”
“Pada
saat Anda menebar benih, baca dan dalami ayat “Innallaha faaliqul habbi
wannawaa – sesungguhnya Allah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhanan
dan biji buah-buahan” (QS 6:95). Ketika tanaman mulai tumbuh baca dan
dalami ayat : “Afaraaitum maa tahrutsuun, aantum tajraauunahuu am
nahnuzzaari’un - Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (QS 56 : 63-64).
“Ketika
melihat kebun sudah berhasil baik, maka baca dan dalami ayat : “…Masya
Allah, La Quwwata Illaa Billah…” (QS 18 : 39). Ketika kebun gagal
panen-pun baca dan dalami ayat : “…Subhaana Rabbinaa Innaa Kunnaa
dhaalimiin” (QS 68:29)”. “Ketika hujan tidak turun-turun sehingga Anda tidak bisa bercocok tanam, beristigfarlah …(QS 70 :10-11)”
Akhirnya
Pak Kyai menutup : “Intinya Bapak Presiden dan bapak-bapak para
menteri, solusi itu hanya datang dari Allah, maka marilah kita hadirkan
Allah dalam setiap urusan kita. Ketika kita menanam, ketika kita
berhasil maupun kita gagal, ketika kita membangun ekonomi, membangun
negara – dalam suka dan dukanya – kita tetap harus berusaha
menghadirkanNya”.
Pak
Presiden dan para menteri mengangguk, sambil tak lupa beliau berterima
kasih ke Pak Kyai dan minta kesediaannya untuk bersedia hadir lagi bila
negara membutuhkannya. Sampai disini saya terbangun dari ‘mimpi’ ini…
- Details
- Kategori : Umum
- Published on Tuesday, 21 May 2013 11:35
- Oleh : Muhaimin Iqbal
0 comments